Sosiologi 29

1K 74 2
                                    

Belakangan ini, sudah tiga hari aku jarang sekali berkumpul dengan teman-teman sekelasku. Tiap bel istirahat, mereka selalu mengajakku ke kantin. Tetapi aku selalu menolak.

"Kenapa?" tanya Ana hari itu. "Latihan lagi?"

Aku mengangguk. Pada akhirnya aku menceritakan semuanya pada Ana. Dari awal Piqni menanyaiku tentang perihal gitar, lalu mengajakku gabung dalam pembuatan drama musikal untuk ikut kompetisi.

"Vita sekarang kayaknya sering banget ngumpul bareng anak IPA ya?" celetuk Giya.

"Iya. Maaf ya jadi nggak bisa ke kantin sama kalian lagi."

"Emang lagi pada ngapain di sana?" Kali ini Amber yang bertanya.

"Latihan drama buat pembuatan film untuk kompetisi."

"Oh."

Tiba-tiba aku merasa sedikit tak nyaman mendengar respon Amber. Bukan, bukan karena hanya dua huruf yang terlontar. Sumpah, aku nggak mengharapkan dipuji-puji karena bisa terpilih. Aku tahu dirilah aku siapa. Hanya saja, sepatah kata itu diucapkan Amber dengan agak sinis.

"Ya udah yuk, kita ke kantin duluan aja," suara Kina memecah lamunanku.

"Lagian 'temennya' si Vita udah dateng tuh, mau jemput," tambah Amber dengan dagu menuju ke pintu.

Kulirik ke arah pintu, benar. Sudah ada Piqni dan Arya. Aku kembali melirik teman-temanku. "Iya, kalian duluan aja."

Seperginya mereka, aku bergegas menghampiri Piqni.

"Teman-temannya kenapa?" cecar Piqni.

"Oh gak apa-apa," jawabku sebelum akhirnya kami pun berjalan menuju gimnasium.

📊

"Uji, ini kunci apa?" tanyaku ketika sedang belajar memainkan senar gitar pada uji yang duduk di samping ku.

"Itu G minor," jawabnya tanpa melirik penuh hanya dari ekor mata. Selanjutnya cowok itu kembali fokus ke gitarnya.

Aku mencoba memetiknya beberapa kali. "Kalau yang ini apa, Uji?" tanyaku lagi tanpa menoleh. Tapi tak ada jawaban. "Uji?" Tetap tak menjawab. Saat kulihat ke sisi, ternyata cowok itu sudah raib dari tempatnya. Lah, kemana dia?

Kupalingkan mataku ke segala arah. Tidak kelihatan. Dan sialnya malah berserobok dengan mata Angga. Damn it!

Cepat-cepat aku menundukan wajah. Berpura-pura kembali fokus memetik senar. Padahal aku tak tahu nada apa yang kumainkan. Asal-asal saja. Untuk menyembunyikan rasa aneh yang tiba-tiba melanda. Kesal bercampur marah. Tapi kenapa?

Apa mungkin karena tadi aku sempat melihatnya saling cubit pipi dan tertawa renyah dengan... seorang cewek? Ah, itu terlalu berlebihan. Padahal, dia siapa aku siapa.

"Ehm," suara deheman yang berat mengejutkanku. Nyaris saja aku berteriak tadi. Kucari tahu siapa yang membuatku shock tersebut. Dan saat kutoleh, mataku membulat sempurna serta jantungku rasanya mencelos.

"Kenapa sih? Ngeliat gue kayak ngeliat hantu gitu," ujarnya dengan nada santai. Tak kuduga dia sudah duduk di sampingku.

Aku tidak yakin dengan membuang muka, dia tidak melihat wajahku yang pasti memerah. Tanganku erat mencengkram badan gitar. Aku nggak bisa seperti ini terus. Lantas aku menarik napas dalam-dalam. "Sori, tadi beneran kaget," aku berani berbicara sambil menatapnya dari dekat. Wow, thats great, Vita!

"Ngelamun ya?"

"Iya kayaknya."

"Jangan mikirin gue mulu."

Jeng..jeng..jeng..

"Nggak kok," jawabku berbohong. "Oya, lo liat Uji nggak?"

"Dia lagi ke toilet. Mau perlu apa?"

"Belajar gitar." Sedetik aku tersadar, akhirnya aku bisa mengatasi perasaan aneh itu dengan berbicara lancar padanya.

"Ohh. Kalo soal itu mah gue juga bisa ajarin lo."

Toengg! Dia bilang apa tadi? Yakk, sok manis!

"Nggak usah deh. Lo kan harus latihan vokal. Gue mau keluar dulu aja."

"Lo hindarin gue, Vit?" Aku terdiam mendengar pertanyaannya yang tepat sasaran. "Udah setengah tahun lebih lo hindarin gue. Lo masih marah karena lo berpikir gue ngasih harapan palsu buat lo. Gitu?"

Tapi pertanyaan itu tak menemukan jawabannya karena terpotong oleh suara Piqni.

"Guys, ke kantin dulu yuk! Laper nih. Bareng-bareng aja," seru Piqni.

Syukurlah. Jadi aku nggak harus bersitegang lama-lama dengan cowok itu.

"Gue duluan," kataku pada Angga lantas menyusul Piqni dan lainnya.

📊

Saat berjalan menuju kantin, aku berpapasan dengan teman-teman kelasku. Munir, Wawan, Dodo, Amber dan Lisa. Mereka menatapku dengan tak biasa. Kecuali Lisa yang tersenyum padaku. Aku senang dan sempat ingin membalasnya, tetapi baru ingin kulakukan, tiba-tiba Arya lebih dulu menyikut lenganku dan mengajakku mengobrol. Setelah beberapa menit, aku mencoba menoleh ke arah Lisa. Dia sudah tidak kelihatan. Aku mendesah berat.

Tidak lama, kami sampai juga di kantin. Aku duduk di tengah-tengah Piqni dan Uji. Sementata Angga..di depanku. Ck!

"Eh kayaknya kita harus terus latihan deh. Soalnya waktunya sebentar lagi," ujar seorang cewek yang kalau nggak salah namanya Rinni.

"Iya lo bener," timpal seorang cewek lagi.

"Ya iyalah harus ekstra. Apalagi buat lo, Vit," timpal Adim sambil menatapku dingin. "Lo udah bisa mainnya?"

Kugelengkan kepala. "Belum."

Setelah ketegangan itu, mereka mengobrol dan saling bercanda tawa. Mengabaikanku. Tiba-tiba aku merasa asing sekali. Ketika baru sadar kalau hanya akulah satu-satunya dari kelas IPS. Dunia yang ramai ini mendadak terasa sepi dan sunyi. Aku benar-benar kesepian.

Rasanya ingin menangis...

Mereka tertawa bahagia dan lepas, tanpa tahu perasaanku yang hening dan beku. Lama-lama suara tawa itu membuatku tak tahan.

Aku tidak tahu apa yang kupikirkan, tahu-tahu saja aku berdiri sambil menggebrak meja. Bukan hanya teman-teman satu mejaku, tapi semua mata yang ada di kantin tertuju padaku.

Hening sesaat. Sampai kemudian, Piqni bersuara. "Kamu kenapa, Vit?" tanyanya.

"Nggak. Aku ke kelas duluan. Permisi."

Terserah. Aku tak peduli lagi kalau mereka mau membicarakanku setelah ini. Karena perlahan aku mulai sadar, siapa aku dan siapa kawanku yang sebenarnya.

*****

-Inayivsil
-02-06-2018

Realitas Anak IPSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang