10. Tidak baik-baik saja

Start from the beginning
                                    

🍐

Dengan perasaan khawatir bercampur gelisah, sebisa mungkin Adnan mempercepat langkahnya, menyusul langkah demi langkah gadis itu. Pandangan matanya hanya berfokus pada satu objek yang berlari semakin jauh darinya, yaitu Nasya. Namun rasa sesal seketika menghujam dirinya, saat ia kehilangan sosok Nasya di balik pintu lift yang tertutup. Adnan kesal, kenapa lift asramanya itu seolah tidak pernah bersahabat dengan dirinya.

Sekarang Adnan jadi tidak tahu harus berbuat apa. Dia tidak akan mungkin tahu ke mana Nasya berlari. Sementara rasa cemasnya kian menyiksa dirinya sendiri. Dengan perkiraan yang entah benar atau salah, Adnan memutuskan untuk ke rooftop lebih dulu dengan menggunakan tangga darurat. Karena, kalaupun gadis itu tidak ada di rooftop, setidaknya ia tidak sedang mencoba untuk bunuh diri lagi.

Menaiki ratusan anak tangga dari lantai satu sampai lantai dua belas ternyata bukan cuma membuat keringatnya bercucur deras, namun juga nyaris saja membuat napasnya berhenti mendadak. Melelahkan. Akan tetapi dirinya tetap merasa lebih baik, ketika dia tidak mendapati siapa pun di atas rooftop. Ini gila, memang. Merasa secemas ini pada seseorang yang baru dikenalnya sunggu membuat dirinya benar-benar gila!

Dengan napas yang memburu hebat, Adnan kembali turun dari atas rooftop menuju lantai dua belas.

PRANG!

Langkah Adnan terhenti saat tiba-tiba saja dia mendengar suara bantingan-bantingan benda beling dari dalam sebuah ruangan yang tidak tidak begitu jauh dari posisi berdirinya sekarang. Sejenak ia memerhatikan pintu ruangan tersebut dari kejauhan. Pintu itu nampak berbeda dari kamar-kamar siswa asrama. Bukan cuma ukurannya yang lebih besar, tapi juga Adnan tidak melihat ada mesin akses apapun yang biasa Adnan lihat menempel di dinding ada sisi pintu.

"Aaaa!!!"

Mendengar jeritan tersebut, entah kenapa kecemasan Adnan kian berkecamuk. Kedua kakinya dengan otomatis berlari menghampiri sumber suara. Tanpa berpikir panjang, ia langsung menghantamkan tubuhnya sendiri pada kayu jati tersebut. Sayangnya pintu itu tidak terbuka juga.

Adnan berjalan mundur beberapa langkah. Matanya menatap tegas pintu besar di hadapannya. Sesaat kemudian, setelah yakin kalau dobrakan kali ini akan berhasil membuat pintu itu terbuka, Adnan berlari lalu menghantamkan tubuhnya lagi pada pintu yang dihiasi oleh ukiran itu. Ah, tapi bukan pintu terbuka yang ia dapat. Melainkan kenyerian pada bagian lengannya yang dia gunakan untuk mendobrak pintu itu. Ternyata kuncinya jauh lebih kuat dari yang Adnan bayangkan.

Karena masih penasaran dengan apa yang ada di dalamnya, Adnan pun tidak menyerah. Anak tengil itu masih yakin kalau dia pasti bisa mendobrak pintu berbahan dasar kayu jati tersebut. Dia pun kembali mengambil langkah ke belakang lebih jauh dari sebelumnya. Napasnya sudah naik turun karena reaksi dari efek lelah yang otomatis dikeluarkan tubuhnya. Adnan yakin seribu persen, kali ini pasti dia akan berhasil mendobrak sekaligus menjebol kunci pada pintu itu.

Setelah mengumpulkan seluruh tenaganya, melupakan sejenak rasa nyeri yang menimpa tubuhnya, cowok itu berlari didampingi oleh kekuatan dari emosi yang keluar dari dalam dirinya sendiri. Menghantam sekeras-kerasnya pintu itu untuk yang ketiga kalinya sampai akhirnya benar-benar terbuka lebar. Mata Adnan membulat sempurna ketika di dalamnya dia mendapati Nasya sedang membuang-buangi semua figura-figura yang berisi foto papanya sambil menjerit sekencang-kencangnya. Nasya terkesan seperti hilang akal. Air matanya terus mengalir tiada henti.

Adnan melangkah masuk, dengan cepat ia mencekal tangan Nasya sampai gadis itu berdiri menghadap dirinya. "Lo kenapa? Ada apa?" Ada kekhawatiran yang mendalam tersirat pada nada bicara Adnan juga sorot matanya.

Gadis itu menunduk, tangisannya semakin menjadi dengan isakan yang terdengar jelas di telinga Adnan. Adnan menarik tangan Nasya, kemudian mendekap tubuh gadis itu ke dalam pelukannya. Dengan harapan, hal ini bisa membuat Nasya tenang. Sebenarnya Adnan sangat ingin tahu apa yang membuat gadis itu seperti ini, tapi dia tidak bisa memaksa gadis itu untuk memberitahunya.

Nasya memang tidak pernah bisa menceritakan tentang hidupnya pada siapa pun. Termasuk pada Adnan. Karena Nasya sudah terbiasa dengan hidup tertutup sejak kecil. Dan kali ini, untuk pertama kalinya, Nasya tidak memberontak ketika ada seseorang memeluknya. Nasya sungguh tidak tahu harus bagaimana lagi cara mengungkapkan segala tekanan di dadanya, selain menangis menangis dalam pelukan Adnan, hingga air matanya membasahi baju bagian dada Adnan.

"Nangis aja. Lo gak akan terlihat lemah cuma karena menangis. Tapi justru lo akan menjadi lebih kuat setelah menangis." Tangan Adnan terus mengusap lembut kepala Nasya yang tepat di hadapan dadanya.

Adnan memang tidak tahu apa yang ada dalam pikiran Nasya. Apa yang Nasya rasakan. Apa yang membuatnya seperti ini. Yang jelas, Adnan tahu, pasti gadis itu sedang tidak baik-baik saja. Adnan juga tahu dengan memeluknya tidak akan menyelesaikan masalah gadis itu. Tapi Adnan percaya, sebuah pelukan setidaknya mampu meminimalisir 'rasa sakit' seseorang. Karena itu yang selalu dilakukan bundanya dulu pada dirinya juga abangnya.

===

To be continue...

A/n: daripada komen lanjut up dll. mending jawab ini. terlepas dari visualnya, siapa tokoh fav kamu di antara mereka berlima? boleh lebih dari satu. kasih tau juga alasannya wkwk

Emerald Eyes 1&2Where stories live. Discover now