Halaman ke-6

1.4K 116 2
                                    

Kembali pada kenyataan di mana yang sakit harus menerima rasa sakitnya. Jika terus bermimpi dan tak ingin terbangun untuk menerima kenyataan terus- menerus, sakit yang dirasa pun akan semakin sakit nantinya. Bangkit dan coba mengerti tentang rasa itu hingga semuanya perlahan membaik tanpa disadari.

Mungkin itu terdengar cukup sulit bagi yang merasakan rasa sakitnya, tapi percayalah ... semua akan baik-baik saja pada waktunya.

"Kamu udah sarapan?" tanya Vanya--teman sebangku Anna--ketika Anna baru saja mendudukkan dirinya di atas kursi.

"Udah Van, kamu belum sarapan ya?"

"Iya nih, rencananya aku mau ajak kamu ke kantin bareng, tapi kalau kamu--"

"Kamu mau dianterin? Ayok!"

"Tapi kan kamu--"

"Nggak papa kali, yuk!"

Anna yang baru saja terduduk, kembali bangkit setelah melepaskan tas punggungnya. Vanya dan Anna kini berjalan beriringan keluar dari ruang kelas untuk menuju kantin.

Beberapa murid lebih sering sarapan di kantin ketimbng di rumah karena alasan takut telat, kesiangan, dan beberapa alasan lainnya. Untuk itu, tak heran jika akses jalan menuju kantin lumayan ramai meski hari masih terlalu pagi.

"Kamu mau pesen apa?" tanya Vanya ketika Anna baru saja duduk di tempat biasa mereka duduk jika di kantin.

"Teh aja," ujar Anna sembari mendongakkan sedikit kepalanya, "jangan manis-manis." Anna menambahkan.

"Oke, aku pesenin dulu ya."

Setelah itu, Vanya bergegas pergi ke tempat di mana murid yang lain juga tengah mengantri untuk memesan menu sarapan mereka.

Anna yang kini duduk sendiri di meja kantin, dengan malas menggerakkan kedua bola matanya dengan liar, mendapati kantin yang mulai ramai dikunjungi beberapa murid yang lainnya.

"Sendirian aja?"

Pemandangan murid-murid yang berlalu lalang di sepanjang koridor sekolah langsung tergantikan oleh kehadiran Erina yang dengan tiba-tiba duduk di depan mejanya. Mangkuk yang berada di atas meja tak membutuhkan Anna berniat untuk menanyakan sedang apa gadis itu berada di kantin.

"Sama Vanya. Kamu sendiri sama siapa? Syabil?"

"Yap. Tapi dia lagi pesen minuman anget di sana."

Erina mulai mengaduk-aduk bubur dalam mangkuknya agar tercampur rata. Rasa bubur ayam yang dijual di kantin memang tidak usah diragukan lagi, untuk itu beberapa murid lebih suka sarapan bubur ketimbang nasi goreng.

Saat Anna menolehkan kepalanya pada tempat yang dimaksud Erina, Anna langsung menganggukkan kepala karena melihat keberadaan Syabil di sana.

"Lo nggak sarapan, apa lagi dipesenin Vanya?"

"Udah sarapan di rumah."

"Hoo ... tehus hlo phesen apha ajah?" tanya Erina dengan bubur yang masih berada dalam mulutnya.

Anna menyunggingkan senyum tipisnya sembari menggeleng. "Teh doang, aku masih kenyang soalnya."

Erina mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya pada mangkuk bubur yang sudah teraduk rata dengan kuahnya. Suap demi suap masuk ke dalam mulutnya beserta kerupuk yang tergeletak di atas mejanya, tanpa alas sama sekali.

"Loh ... kok kamu makan duluan?  Rencananya kan kita mau semangkuk berdua. Kamu gimana sih!"

Syabil tiba-tiba datang dan duduk di samping Erina dengan satu gelas teh di tangan kanannya.

Erina memberikan cengiran kudanya sembari menggeser mangkuk bubur itu ke tengah-tengah antara mereka. Pantas saja sendok di dalam mangkuk itu lebih dari satu, rupanya mereka akan sarapan dalam satu mangkuk yang sama.

Kejadian yang terjadi selanjutnya benar-benar tak ingin Anna lihat lagi seumur hidupnya. Satu mangkuk dua sendok dan satu gelas dua sedotan. Mereka saling suap-menyuap dan berbicara bahwa itu adalah cara romantis ala-ala the Perfect couple di sekolah.

Antara romantis dan irit ini beda tipis sepertinya.

Ketika Vanya datang dengan satu mangkuk bubur ayam dan dua gelas tehnya, dia hanya menggeleng maklum dan menaruh nampan di atas meja. Menyerahkan satu gelas teh pada Anna dan mulai menikmati sarapannya meski harus sembari melihat gaya pacaran alay ala Erina dan Syabil.

"Lo nggak kaget ya Van kalau ada gue sama Syabil di sini?" tanya Erina di sela-sela lahapan bubur berikutnya.

"Nggak, tadi juga di sana abis ketemu Syabil, jadi aku udah nggak aneh kalau ada kamu juga pastinya," terang Vanya tanpa beralih melirik Erina.

"Bagus kalau gitu, berarti kalian emang udah terbiasa sama gue dan Syabil."

Mana mungkin mereka tidak terbiasa melihat itu semua ketika disuguhkan peristiwa itu terus-menerus setiap harinya. Bahkan tidak hanya untuk terbiasa, bosan pun bisa terjadi.

Hubungan Erina dan Syabil memang belum selama hubungan antara Anna dan Yanu. Tapi jika ditanya soal kekompakan dan juga perasaan, sepertinya mereka unggul lebih tinggi.

"Itu bukannya--"

Ucapan Erina langsung tertahan ketika tangan kanannya yang tengah memegang sendok disenggol oleh Syabil. Gadis itu menoleh dan bertanya lewat tatapan matanya, ketika Erina menyadari hal itu, dia langsung mengurungkan niat untuk melanjutkan ucapannya.

Anna dan Vanya tentu saja sangat sadar oleh ucapan yang terlontar dari mulut Erina meski sempat tertahan. Mereka berdua menolehkan pandangan ke arah di mana mata Erina tadi sempat melirik ke arahnya.

Menyesal, satu kata yang terlintas di benak Anna saat ini adalah kata menyesal. Seharusnya dia tak usah sadar dengan suara Erina tadi, seharusnya dia tak usah menoleh, seharusnya tidak sama sekali.

Kedua tangannya melingkar dengan pasrah di permukaan gelas teh yang masih hangat. Pemandangan yang tertangkap oleh penglihatannya saat ini membuat sebuah memori yang tengah dia pupuk dalam-dalam kembali mencuat dan menyita perhatian gadis itu secara hampir keseluruhan.

Malam di mana sebuah tangis menjadi akhir untuk sebuah ikatan yang hanya didasari sebuah perasaan yang tak jelas. Kesunyian yang tercipta semakin membuat keadaan rumit dan sulit. Kejadian itu seakan menjadi sebuah film yang dapat terputar kapan pun tanpa diminta.

"Are you okay, An?" Vanya mengelus pelan pundak Anna yang perlahan menegang setelah melihat sebuah pemandangan mengerikan bagi hidupnya.

"Fine."

Tapi semua perkataan yang keluar dari mulut Anna memang tak ada benarnya sama sekali. Dia merasa kurang baik dan tidak baik sama sekali. Tapi dia kembali tak ingin egois dan ingin selalu terlihat bahwa dia adalah gadis kuat tanpa air mata.

Erina yang merasa tak enak terus saja menggaruk tengkuknya yang tak gatal karena tak tahu harus berbuat apa.

"Mereka cuma temenan kok, An, Lo santai aja."

Perkataan Syabil benar-benar tak membantu sama sekali. Kalimat itu hanya membuat perasaan Anna semakin tak karuan karena satu dan beberapa hal lainnya yang masih menggelayuti pikiran Anna.

"Diana temen satu organisasi lo, 'kan? Jadi, santai aja ... dia pasti nggak akan ngapa-ngapain."

Kalimat yang terlontar dari mulut Erina membuat kepala Anna bergerak dan melirik Erina yang berada di depannya. "Maksudnya?"

"Diana nggak akan berani jatuh cinta sama Yanu karena dia kenal sama lo."

So what? Siapa yang akan peduli? Yanu hanya masa lalu, dan semua orang tahu akan hal itu.

Dukungannya lewat bintang dan jejak di kolom komentar jangan lupa ya 😘😘

Regards,
Yang mau
melupakan 😂😂

Yang Sama Terulang (Completed) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang