Prak! Prang!
Whoosh!
Bunyi batu yang tetiba menghantam kaca depan mobil kami, disusul dengan sebuah botol molotov yang sontak mengobarkan api di bagian depan mobil.

Aldi membanting stir kekiri.

Ciiiittt!
Bunyi decitan ban ketika mobil tiba-tiba dialihkan ke kiri, melawan daya laju kami sebelumnya.

BRUG!
Roda bagian kanan mobil menghantam keras trotoar. Sisi kiri mobil terangkat beberapa detik, tubuh semua yang di dalam ikut terangkat ke arah kanan.

Duar!
Ban belakang kiri meledak seraya sisi kiri mobil menghantam aspal setelah terangkat.
Mobil kami terputar, hingga membelakangi gerombolan orang itu. Kini sisi kanan mobil berada di pinggir trotoar, sisi kiri mobil tempatku duduk berada di jalan. Jerit histeris orang seisi mobil mengiringi guncangan.

Aku berusaha mengembalikan fokusku secepat mungkin dari guncangan keras itu. Melihat ke belakang, orang-orang mendekati mobil kami dari sisi kiri dengan senjata tajam. Aku segera membuka pintu dengan memegang pistol di tangan kanan.

"DIAM! JANGAN MAJU LAGI!" tegasku.
Aku mengacungkan pistol P220 dengan kedua tangan, sejajar dengan hidung. Gerombolan orang itu berhenti, arah laras pistol aku pindahkan dari satu orang ke yang lain secara bergantian, mereka saling menatap satu sama lain.

"Senjata boongan itu," tampik salah satu bandit.

"Ooh, mau coba? Mau di kaki apa kepala?" balasku.

Sely menyusul keluar dari pintu depan.
"RI AWAS!"
Dia menarik bajuku ke belakang, merapatkanku ke pintu yang terbuka di belakangku.

Bzzt!
Prak!
Bunyi desis kencang seperti suara ban kempes dari arah belakang mobil. Sebuah lubang kecil tampak menembus kaca mobil hingga kaca jendela pintu di sampingku.

Seseorang di belakang mobil baru saja menembakku dengan senapan angin, dan meleset.

"Maju aja!"

"MAJU WOY!"

Bentak beberapa bandit yang tadi terhenti di tengah pertigaan. Tiga orang berlari ke arahku, mengangkat senjata tajam di atas kepala mereka.

Dar! Dar!
Dua timah panas aku lontarkan ke arah dada bandit yang terdepan, sebelum ia berada di jarak serang. Peluru .45 ACP yang memiliki daya henti lebih kuat dari 9mm sontak merubuhkannya. Tubuhnya tergelincir ke samping, menjatuhkan temannya yang berlari di sebelahnya.

Dor!
Bunyi shotgun menyalak bersamaan dengan pistolku.
Ayah keluar dari sisi kanan mobil, dan menembak orang dengan senapan angin.
Aku melihat melalui kaca mobil, orang yang ditembak Ayah memuntahkan darah dari bagian belakang perut, potongan ususnya ikut terlempar keluar.

Dar!
Aku menembak dahi bandit yang sedang berusaha berdiri setelah tertimpa tubuh bandit yang pertama aku tembak, wajahnya langsung menghantam aspal. Semburan darah beserta serpihan kecil otak keluar dari belakang kepalanya.

Dar-Dar-Dar!
Sely menembaki kaki satu orang lagi yang juga tengah berlari ke arah kami, desis peluru yang melintas dari belakangku ikut menyaru. Orang itu tersungkur, kepalanya menghantam lampu belakang mobil.

"Mundur! Mundur!" perintah Ibu.
Ayah membuka tembakan kedua ke arah kerumunan bandit. Aku dan Sely mundur ke bagian depan mobil yang dilahap api. Sementara para bandit yang sebelumnya bergerombol, berusaha menyebar untuk mengepung, sebagian hendak menyulut molotov.

Dor!
Klik!
Peluru di dalam shotgun habis.
Saat Ayah tergesa-gesa mengisi peluru, aku melihat orang yang tadi ditembak Sely bangun kembali, meraih senapan berburu lalu mengarahkan larasnya ke Ayah.

Era Yang MatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang