Chapter 34 : The Manila Envelope

Mulai dari awal
                                    

"Apa kau yakin?" Aku bertanya.

"Tentu saja." Dia bilang.

"Oke," kataku melihat ke amplop di tiket, "tapi sebenarnya aku mungkin tidak akan menggunakannya."

"Aku mengerti." Tuan Kently berkata, "tapi aku harus mulai bekerja. Senang melihatmu Jackie. Hati-hati."

"Kau juga." kataku sebelum menutup pintu depan.

"Apa itu tadi?" Tanya Alex ketika aku berjalan melewati ruang tamu menuju kantor ayahku.

"Bukan apa-apa." Aku mengatakan kepadanya dengan linglung, "tapi apa kau pikir kau dapat membantuku dan pergi mencarikan kami taksi?"

Alex mengerang, tapi turun dari sofa, meraih jaketnya, dan berjalan ke luar. "Kenapa aku?" Dia bergumam pada dirinya sendiri saat pintu terbanting menutup.

"Akhirnya beberapa waktu sendirian." Kata Cole menggoyangkan alisnya ke arahku.

Aku menembaknya satu tatapan panjang yang tajam sebelum mencubit hidung. "Kita perlu mengejar pesawat, dasar mesum. Kenapa kau tidak membantu seperti adikmu, dan bawa tasku ke luar."

"Memangnya aku ini apa, pelayanmu?" Dia menuntut, tapi mengambil koper.

"Jika kau melakukan pekerjaanmu dengan sangat bagus, aku mungkin memberimu tip." Aku tertawa.

"Aku lebih suka ciuman." Dia menjawab, matanya berbinar-binar.

"Dalam mimpimu, Walter." Aku mengatakan padanya sebelum dengan cepat berbalik. Aku tidak ingin dia menyadari rona merah yang menutupi pipiku. Cole tertawa, dan kemudian beberapa detik kemudian pintu depan terbanting, meninggalkanku sendirian di apartemen. Aku mengambil beberapa napas dalam-dalam.

Apa yang kulakukan lagi? Oh benar, amplop manila.

Ketika aku berjalan menyusuri lorong, aku membuka amplop dan melihat tiket, teringat ketika Dad telah memesan perjalanan. Dia membiarkanku memilih ke mana kita akan pergi, dan aku memilih pelayaran di sekitar Karibia karena pada saat itu aku terobsesi dengan bajak laut dan Johnny Depp.

Semuanya terasa seperti bertahun-tahun yang lalu.

Ketika aku membuka pintu kantor, cahaya dari koridor membanjiri ruangan. Semuanya berbau tua dan apek seperti ruangan tidak digunakan dalam waktu yang lama, tapi itu tidak masalah; Aku hanya akan berada di sini sebentar.

Dad menyimpan semua dokumen penting di kabinet atas, di belakang mejanya. Itu begitu tinggi sehingga aku harus berjinjit untuk membukanya. Setelah menemukan apa yang kucari, aku meraih sebuah amplop yang identik dengan yang diberikan Tuan Kently padaku.

Kemudian, aku menarik tiket keluargaku dan membuang amplop ekstra itu. Setelah menggabungkan semua tiket, aku mencoba melemparkan mereka kembali ke lemari, tetapi mereka terus jatuh kembali.

Pintu depan terbuka lagi. "Ayo Jackie!" Teriak Cole. "Kita harus pergi sekarang! Apa yang kau lakukan, melihat rumput tumbuh?"

"Baiklah baiklah!" Aku berteriak. Frustrasi, aku memasukkan amplop di tasku dan bergegas keluar ruangan.

Setelah mengunci apartemen, Cole dan aku menuju ke bawah untuk menemui Alex.

"Aku benci taksi!" Alex berteriak ketika kami bergabung dengannya di luar. Sebuah taksi baru saja melewatinya, menyemprotnya dengan air hujan yang kotor.

Meletakkan tasku, aku menyeringai pada Alex, "Perhatikan aku, anak desa."

Aku mengambil satu langkah cepat ke jalan, membawa jariku ke mulutku, dan bersiul. "Taksi!"

Sebuah mobil mengubah lajurnya dan meluncur ke tempatku berdiri. Rahang Alex turun karena terkejut.

"Bagaimana kau melakukannya?" dia bertanya heran.

"Masuk saja." Kataku tersenyum dan membuka pintu.

        

***

   

"Tunggu!" Cole berteriak ketika kami berlari ke ujung terminal tempat pesawat kami sudah naik. "Tunggu kami!"

Sendalku memukul bagian belakang kakiku ketika aku mengejar para Walter. Mereka cepat dan tasku hanya memperlambatku.

"Tepat waktu." Kolektor tiket mengatakan, mengklik lidahnya dengan tidak setuju ketika akhirnya aku mencapai meja.

Setelah mengambil boarding pass kami, wanita itu mengantarkan kami ke pesawat, dan menutup pintu di belakang kami.

Cole menjatuhkan diri ke kursinya sambil mendesah. "Untung saja!"

"Ya," Alex setuju, menyeka keringat dari alisnya sebelum menyimpan barang-barangnya di atas, "tapi Mom masih akan membunuh kita. Mungkin kita harus membawanya oleh-oleh untuk menyuapnya? Apa kau pikir dia akan menyukai kemeja I Love New York? "

"Alex," kata Cole sambil menggelengkan kepalanya, "Mom dulu tinggal di New York."

"Oh ya ...sayang sekali..." Alex menjawab.

Saat kata-kata itu keluar dari mulut Alex, sebuah ide mulai terbentuk di kepalaku. "Jangan khawatir, aku punya hadiah yang tepat untuk menyuapnya. Katakan padaku, apa ibumu suka Karibia?"

    

***

tbc


AKHIRNYA ADA SINYAL JADI BISA UPDATE :'') udah balik ke Jakarta sekarang, disono sinyalnya bikin mau makan orang .-.

My Life with the Walter BoysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang