[22] Elinna Cahya Pasarella

20 4 0
                                    

Elinna bisa merasakan muka Jetha memerah mendengar kata pacar yang dia lontarkan. Berani taruhan, cowok itu bahkan nggak peduli dengan kata "pura-pura" yang dia sebutkan sebelumnya. Tapi, apa pun yang Jetha pikirkan, rencana ini tetap harus berjalan lancar.

"Bokap—lo?" Riza menaikkan alis tinggi-tinggi, kemudian mengalihkan pandangan ke arah Rengga. Jelas, cowok itu pasti ngerasa sakit hati karena nggak pernah dibocori apa pun oleh mantan teman yang entah masih peduli dia atau enggak.

"Ya udah yuk, pulang aja sekarang," Elinna langsung mengajukan usul lain, berdiri dari tempat duduknya sambil menarik lengan Jetha. "Gue mau nyiapin Jetha dulu, sekalian bikin skenario pura-pura belajar--" Via memutar bola mata geli mendengar ini "--trus ntar kalo udah dapet, gue kirim file-nya di grup. Kita kerjain bagian masing-masing, trus difoto dan dikirim ke grup. Capiche?" Elinna tiba-tiba terpikir adegan Hotel Transylvania 2 dan meniru ucapan itu, yang hanya ditanggapi anggukan teman-temannya.

Dia pun segera menarik Jetha ke tempat parkir. Separuh logikanya yakin, Riza nggak bakal mau mengerjakan soal seandainya dia masih belum tau apa-apa. Entah Via bakal membocorkan identitasnya atau nggak, tapi dia cuma nggak mau Jetha berpikir yang aneh-aneh tentang dia. Lagi pula, Riza masih tetap harus mengerjakan soal atau kalau nggak, selamanya dia nggak bisa masuk tim inti ekskul dance.

"Jet," panggil Elinna akhirnya, ketika mereka sudah mencapai motor cewek itu. "Gue percaya sama lo," ucapnya, mengetatkan genggaman, "jadi, gue minta lo buat ngedengerin semua cerita gue baik-baik dulu ya. Perkara..." Elinna menarik napas, dalam, mulai merasakan sesuatu menyayat hatinya. "Perkara lo entar kurang setuju atau apa, tunjukin aja setelah gue selesai cerita."

Elinna nggak menunggu jawaban cowok itu dan langsung memakai helm, menyalakan motor, dan menunggu Jetha naik di boncengan sebelum keluar gerbang.

•×•

Begitu sampai di rumah Elinna, Jetha sudah berpenampilan rapi—kaus putih bergambar potret wajah orang, dipadu jaket parka hijau tua dan celana jins biru muda. Elinna sebenarnya takjub mendapati Jetha punya koleksi semodis itu; bagaimanapun, dia ingin Jetha tampil santai sekaligus presentable di depan orangtuanya.

Gila ya. Udah kayak mau lamaran aja. Cewek itu memutar bola mata diam-diam ketika gagasan gila barusan muncul. Dia cepat-cepat mengalihkan pandangan dan mengajak Jetha masuk. "Anggep rumah sendiri, ya."

Dari gestur cowok itu, Elinna tahu Jetha sadar ini adalah rumah yang dia kunjungi saat pesta ulang tahun Poppy dulu. Rumah bercat putih dengan atap abu-abu yang menyediakan jalan setapak, diapit rumput hijau segar, plus pot-pot bundar dan tanaman yang menyejukkan mata. Jetha bisa melihat isi rumah dari enam kaca di bagian depan yang terang terkena cahaya Matahari. Secara keseluruhan, rumah itu menimbulkan kesan hangat dan nyaman, meski mungkin salah satu penghuninya—Elinna—nggak merasa begitu hingga sering bertandang ke rumahnya.

Bukan berarti Jetha keberatan sih.

"Gue—nggak tahu harus ngomong apa," cetus Jetha akhirnya, setelah sepanjang proses pulang tadi cuma mengiakan apa pun perintah Elinna.

Pengakuan itu membuat Elinna berhenti mendadak di tempatnya. Dia berbalik, mengamati pacar pura-puranya yang entah tercengang akan desain interior rumah ini (karena bagaimanapun juga, gambar bentuk Jetha selama pelajaran Seni Rupa selalu dapat sembilan), atau canggung karena sudah paham semua cerita kehidupan Elinna.

"Nggak perlu ngomong apa-apa," kata Elinna, menggenggam tangan Jetha lagi dengan harapan bisa menenangkannya. "Jadi diri lo sendiri aja, kayak biasanya."

Dan, mereka pun menyiapkan peralatan belajar setelah Elinna mengambil suguhan di ruang makan.

•×•

The Light in Our ScarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang