Wattpad Original
Ada 4 bab gratis lagi

Chapter 3: Way of the Sword

4.4K 424 128
                                    

SEWAKTU aku berusia empat belas tahun, aku pernah mendengar orang-orang awam berkata bahwa dunia dipenuhi kejutan dan realitas yang membingungkan. Mungkin aku akan membenarkan perkataan mereka mengenai dunia, tentang sentakannya, hal-hal kecil yang tidak pernah kau duga. Sesuatu yang tidak pernah membesit sekalipun dalam benakmu. Siang ini, aku mendapati sebuah surel terpampang manis di tumpukan teratas kotak masukku. Dari anonim, yang alamat surelnya saja aku tidak pernah dengar. Sang anonim menyuruhku kemari, berbekal jaket dan syal, menembus pekatnya gelap sekaligus dinginnya malam, di saat semua orang tengah berkemul dalam kehangatan selimut mereka. Lalu, sentakan datang, begitu halus, tanpa celah. Seolah semua ini sudah direncanakan sedemikian rupa.

Karena, aku juga dapat surel itu. Kalimat itu terus berkumandang dalam benakku, melayang-layang, membentur dinding-dinding kepalaku begitu keras, menyisakan potongan teka-teki dan jejak tanda tanya dalam pikiranku. Sejauh ini, yang kutahu, sang anonim tidak hanya mengirimkan surat itu untukku. Ada sekitar satu miliar pengguna surel aktif di dunia ini. Itu berarti masih ada satu miliaran kemungkinan orang lain bisa menerima surel itu dari akun yang sama. Pertanyaannya adalah siapa saja yang mendapatkan surel itu kalau dilihat dari peluang secara acak?

"Kami juga dapat surel itu." Suara alto menyusup lembut ke liang telingaku, sedikit menyentakkan pikiranku. Aku mengenal suara ini. Ini suara yang sama ketika aku mendengar Fira bersilat lidah dan berujung konyol dengan seseorang soal tugas bersih-bersih. Benar saja, Indah mendadak di sana, seperti kuntilanak kurang tidur. Rambut hitamnya tampak berantakan. Netranya yang kuyu menatapku bak polisi menciduk sepasang remaja badung yang berduaan di Central Park tengah malam. Ada lingkaran hitam tipis di sekitar bola matanya yang mungkin akan menjadi cetakan permanen selama seharian ini.

Indah tidak sendiri. Dia bersama Harry dan Sulcha, teman SMP sekaligus teman sekelasnya sekarang. Kehadiran mereka membuatku bertanya-tanya. Aku tidak merasa membangunkan mereka sewaktu aku berhasil kabur dari asrama karena Indah kujadikan kelinci percobaan saat aku mengendap-endap keluar. "Bagaimana kalian bisa sampai sini?"

"Aku mendengar suara gaduh dari luar dan deru mesin mobil Adam yang dinyalakan. Lalu, kami terbangun, membuntutinya, dan mobil itu membawa kami ke sini." Indah mengangkat bahu sebagai pengakuan terjujurnya. Sepertinya aku sudah tahu siapa yang dimaksud Indah karena aku kemari tidak membawa mobil. Alisnya terangkat sebelah, pandangannya yang semula berpusat padaku lantas berganti ke Krishna. "Kupikir kamu enggak mau pergi berduaan sama dia, Mel. Kalian sudah baikan lalu berani kencan tengah malam? Wah, ternyata begini toh, modus hubungan zaman sekarang. Berantem buat nutupin kemesraan. Hubungan khusus apa yang sedang kalian jalani sekarang?"

"Tidak ada hubungan khusus," tukasku telak sebelum Krishna sempat mengatakan yang tidak-tidak. Aku melirik lelaki itu sekilas, berbisik memperingatkannya lewat sorot mata agar dia bersedia membungkam lisannya yang bedebah itu. "Tadi kalian bilang, kalian juga dapat surel itu, bukan?"

Harry, satu-satunya lelaki yang memiliki sepasang bola mata cokelat nan sipit-dia pernah bilang padaku kalau tidak ada ras Tionghoa mengalir dalam darahnya-dan rambut legam yang mengingatkanku pada bulu landak, mengangkat wajah setelah sedari tadi pandangannya merunduk ke ponsel. Tingginya sekitar lima senti lebih pendek dari Indah, tetapi Harry justru terlihat ideal. Ia menunjukkan surel yang sama dari ponselnya padaku. "Dari orang gila yang menyuruh kita ke Central Park tengah malam begini? Iya, aku dapat surel itu, siang ini."

"Kurasa kita semua mendapatkannya." Bahu Sulcha terangkat. Di antara semua gadis di asrama maupun di sekolah, hanya dia yang menutupi setiap helai rambutnya dengan kerudung. Meskipun ia menetap di negara yang mayoritas bukan umat Islam, Sulcha tidak akan ambil pusing. Kurasa ia bukan tipikal orang yang terlalu memedulikan omongan orang, mengingat terkadang ia dijadikan bulan-bulanan beberapa kalangan di sekolah karena penampilannya dan ia tetap santai menjalani itu semua. Seolah tidak pernah terjadi apa-apa. "Jadi, apa yang akan kita lakukan di sini? Menggelandang sampai fajar menyingsing demi menuruti surel itu?"

Krishna melipat tangan, mengangkat bahu, dan berkata sedikit menekan di beberapa kata, "Jika aku jadi kalian, aku akan kembali ke asrama, membenamkan diri ke kasur, dan melanjutkan hibernasiku yang sempat tertunda."

"Aku sependapat dengan Krishy," celetuk Indah seraya menepuk pundak lelaki itu sebagai penanda bahwa ia berada dalam pihaknya.

"Krishna," koreksinya telak, bertekad mendapatkan superioritasnya kembali.

"Ya, itu maksudku." Indah mengangguk afdal, memohon maaf walaupun air mukanya lebih mengisyaratkan ke malu daripada mengakui kesalahan. "Kali ini aku sependapat dengan Krishy, eh, Krishna."

Sekarang Harry satu-satunya harapan yang kumiliki. Dia tampak menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, menimbang-nimbang sejenak. Aku menantikan kalimat yang terlontar dari mulut Harry seperti anak kecil yang menunggu neneknya memberi hadiah. "Ya, benar sekali." Balon harapanku meletus begitu saja. "Kurasa akan lebih baik jika kita kembali."

Aku bisa melihat semua rencanaku hancur dan merasa semua yang kulakukan selama ini sia-sia. Kupikir kalau aku datang kemari, aku bisa menemukan sesuatu yang mungkin saja dapat meminimalkan tingkat ancaman kalau kami tidak menuruti surel itu. Namun, bagaimana jika yang diundang justru malah memilih untuk kembali pulang?

"Kau sudah dengar sendiri, 'kan? Ayo pulang," ajak Krishna lembut.

"Apa?" Aku merasa bingung. "Kalian sama sekali tidak menghiraukan surel itu? Bagaimana jika sesuatu yang buruk terjadi pada kita kalau tidak menuruti surel itu?"

Pandangan Krishna jatuh ke mataku, menusuk. Seolah ia akan membunuhku dalam tatapannya karena terlalu sering memberontak perkataannya. "Sekarang bagaimana jika pertanyaannya dibalik?" Krishna melontarkan pertanyaan untukku. "Bagaimana jika terjadi sesuatu yang buruk pada kita setelah menuruti surel itu?"

Hal itu tidak terpikirkan olehku. Untuk pertama kali setelah sekian lama, aku membenarkan ucapannya. Aku merasa bodoh karena terlalu percaya pada sebuah surel omong kosong. Padahal bisa jadi sang pengirim melakukan sesuatu yang buruk terhadapku. Ingin sekali aku melontarkan ucapan terima kasih pada Krishna karena dia sudah mengingatkanku dan mungkin berusaha menyelamatkanku dari jebakan dengan tingkahnya yang sukses membuatku naik pitam, tetapi yang kulakukan justru bungkam seribu bahasa dan berlalu meninggalkannya.

Aku bisa mendengar gemeresik kerikil bertemu dengan alas sepatuku dan gema langkah kaki di belakang. Tidak ada yang berbicara, semua berkutat pada keegoisan masing-masing. Mungkin mereka terlalu lelah karena jatah tidur mereka malam ini sempat kurenggut. Hening, yang kudengar hanyalah siulan angin malam mencatuk tulang, mengaktifkan saraf-sarafku untuk menggemeretakkan gigi. Kurasa kulit tropisku tidak bisa menoleransi dinginnya malam yang membekukan walaupun aku sudah membebatkan jaket dan syal agar suhu tubuhku tetap terjaga.

Ketika kami makin menjauh dari Gapstow Bridge, entah kenapa instingku berbisik memperingatkan. Punggungku menegang. Bulu kudukku meremang. Aku bisa merasakan sesuatu yang ganjil di belakang sana. Rasanya seperti ada yang membuntuti kami. Bola mataku bergerak ke ujung, memastikan spekulasiku benar. Namun, tidak ada apa pun di belakang sana selain gelap dan teman-temanku yang berjalan dalam kantuk. Aku yakin ada seseorang yang mengekori kami, tetapi dia tidak mau menampakkan diri. Mungkin saja dia bersembunyi di balik pepohonan atau semak belukar.

Apakah benar ada hantu di dunia ini? Pikiranku ikut meracau seperti orang mabuk saking paniknya. Akan tetapi, segera kutepis pemikiran itu. Yang benar saja, mana ada hantu di sini. Mungkin ini hanya halusinasiku saja karena terlalu banyak ujian membelenggu.

"Mau ke mana kalian?"

5: Bombshell BlondeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang