Wattpad Original
Ada 1 bab gratis lagi

Chapter 6: You Should Be Ready Everytime

2.8K 285 134
                                    

ESOK harinya, aku terjaga dari mimpi buruk yang menyelinap dalam tidurku karena alarm meraung-raung lantang di setiap lorong gedung ini. Dalam mimpiku, aku kembali ke masa kecil, bersama seseorang yang penting dalam hidupku. Kami selalu melakukan banyak hal bersama, entah itu sekadar makan atau bermain. Pun dia seakan tidak pernah mau menolak keinginanku. Betapa bahagianya aku waktu itu. Namun, semua berubah drastis. Apa yang kutakutkan muncul kembali, seperti kaset lawas yang terbuang, tetapi tanpa sengaja diputar lagi. Seolah ia tidak ingin aku melupakan kejadian itu. Ketakutan yang menjadikan diriku yang sekarang. Saat itulah aku mendengar suara berisik yang membuatku terbangun. Butuh waktu sesaat untuk menyingkirkan awan-awan mimpi di kepalaku. Aku duduk di tepi ranjang melihat teman-teman sekamarku berseliweran seperti kumpulan lebah di sarangnya, tidak yakin dengan apa yang kulihat dan kudengar. Lalu, kuputuskan untuk menyimak sekaligus mengamati seperti orang linglung.

"Demi Tuhan, Melati. Apa yang sedang kau lakukan di ranjangmu?" Pekikan Avery membuat kesadaranku tersedot kembali. Dia mendekatiku, meraih tanganku, kemudian menariknya. "Ayo, cepat. Pusat sudah membangunkan kita. Sekarang waktunya ujian."

Aku menuruti saja apa yang dilakukan Avery padaku—memberiku sikat gigi dan sabun muka dan merepet ketika aku tengah bersiap-siap. Ketidaksigapanku terhadap alarm pusat mungkin membuatnya geleng-geleng kepala bercampur dongkol. Dia harus tahu satu hal, aku tidak bisa tidur semalaman dan aku hanya menghabiskan tiga jam tidur malam ini—perjalanan ke markas pusat tidak termasuk.

Setelah selesai melakukan aktivitas pagiku secara kilat, kami langsung bergabung dalam barisan kandidat lainnya, yang menggiring kami ke sebuah aula besar, di mana para petinggi tengah menunggu kami di lantai atas. Pandanganku terpaku pada satu sosok. Seorang wanita muda dengan karisma dan kepercayaan diri yang tinggi terpancar dari auranya. Grace Olivia Miller, aku biasa memanggilnya Ms. Miller dalam kegiatan formal seperti di kelas dan di acara lingkup sekolah—mengingat dia guru pengampu kelas Biologi sekaligus kepala sekolah. Kacamata bergagang tanduk yang selalu membingkai wajahnya dan rambut pirang jatuh ke pundak bagaikan air yang menari di batu karang, seakan menjadi ikonnya.

"Mohon perhatian," ujar seorang pria begitu lantang, memecah hiruk pikuk. Netra elangnya menyapu aula ini, seakan-akan mencari mangsa. Ditariknya napas panjang lalu ia melanjutkan perkataannya selepas keheningan menyelimuti, "Pertama kuucapkan selamat untuk kalian, para Prephan, yang berhasil lolos di tahap awal."

"Siapa dia?" Aku berbisik ke Avery, tanpa melepaskan pandang sedikit pun dari pria yang gaya bicaranya mengingatkanku pada para petinggi yang tengah memberi sambutan di podium.

"Dia pendiri Spectre, Nathan King. Kudengar dia juga bekerja di Departemen Keamanan Dalam Negeri dan mendirikan organisasi ini, yang konon katanya setingkat dengan CIA. Orang-orang di sini dibagi menjadi dua kubu, segan dan apatis dengan Mr. King, tapi yang apatis tidak diperlihatkan secara langsung, mengingat—menurut desas-desus yang kudengar—gelagat Mr. King ini seperti diktator," papar Avery seperti mendongengkan sebuah legenda padaku, ingatan tentang perkataan Meredith soal mengatai Nathan King sebagai diktator kejam pun muncul di depan wajahku. Avery mengangkat bahu kemudian. "Kurasa desas-desus itu benar, kalau kau mengamati bagaimana cara pria itu berbicara di atas podium."

"Kalian adalah orang-orang terpilih, orang-orang terbaik, sekaligus orang-orang yang memiliki potensi unggul di antara semua orang yang mengikuti tes itu," ucap Nathan King menggema dalam kepalaku. "Akan tetapi, kalian di sini bukan lagi orang yang sama-sama menimba ilmu di sekolah, bukan lagi kawan yang bisa diajak bersenda gurau, bukan lagi orang yang sama-sama merasakan cinta. Di sini, kalian adalah rival. Semua orang di sini adalah lawanmu. Mereka tidak lagi menggunakan topeng pertemanan. Selama ujian, tidak menutup kemungkinan kalian bisa terluka atau bahkan mati di sini. Di sini, kalian akan bersaing untuk menjadi Phantom berikutnya meskipun nyawa taruhannya."

***

Aku hanya memainkan makanan yang tersuguh di depanku, tidak begitu bergairah meskipun mereka terus merajuk-rajuk agar aku mau memakan mereka. Namun, tetap saja. Usaha mereka sia-sia. Rasanya seperti perutku menolak untuk diisi. Padahal sejak Nathan King memberikan wejangan tadi, cacing di perutku sudah memprotes minta diberi makan. Entah kenapa rasa lapar itu enyah seperti ditelan bumi. Tatapanku berpindah malas ke Avery, gadis itu duduk berhadapan denganku, tampak menikmati makanannya seperti orang yang kelaparan. "Apa kau belum makan dari kemarin atau nafsu makanmu memang sedang besar-besarnya?"

Dia berhenti mengunyah untuk sesaat. Lantas dengan satu alis terangkat, bola mata kelabunya bergerak memandangku. "Apa kau mempermasalahkan nafsu makanku?"

"Tidak," tukasku langsung. "Aku hanya ... teringat kakakku. Dia selalu begitu kalau sedang dalam periodenya. Kau ... tahu sendiri, 'kan, maksudku?"

"Aku paham. Kakakmu Shafira Johar, 'kan? Anak kelas Sastra Inggris tahun ketiga? Oh, ya, aku sempat bicara dengannya saat aku kebingungan mencari Clarice, teman sekelasnya. Kakakmu itu ramah dan cukup terkenal di kalangan empat angkatan."

"Kuharap bukan karena suaranya yang keras seperti pelantang."

"Ya, itu juga bisa menjadi faktor lain."

"Permisi, Barbara Palvin mau ikutan duduk di sini." Tanpa ba-bi-bu, Indah langsung menempelkan pantatnya di bangku sebelahku disusul tiga temanku yang lain. Penampilan Indah hari ini lebih parah dari Banshee. Dia terlihat kacau dengan mata panda yang sepertinya akan terus melekat di wajahnya sepanjang hari. Ia melempar senyum lemas padaku. "Hai, Mel. Aku terlihat keren, 'kan?"

Aku memindainya dari ujung rambut hingga ujung kaki sebanyak dua kali, terlalu bimbang dengan komentar apa untuk penampilannya. "Ummm ... apa kau kurang tidur semalaman?"

"Kurang tidur?" Indah menderaikan tawa terpaksa begitu keras hingga beberapa meja di dekat kami menoleh. Lalu, ia berhenti dan menatapku seram. "Bukan, ini gara-gara para penggemar Korea sialan yang terus berteriak seperti Banshee menyebut fandom mereka sepanjang malam. Apa itu namanya? BTS? Di antara kalian ada yang tahu itu singkatan untuk makhluk jenis apa? Aku cuma tahu Super Junior sama SNSD saja."

"Tidak tahu, kamu jangan tanya sama aku. Aku bukan penggemar Korea. Yang aku tahu, BTS itu singkatan Buku Tahunan Sekolah," ungkap Krishna acuh tak acuh.

"Sama, Krish." Harry pun buka suara meskipun terdengar tidak jelas karena mulutnya dipenuhi makanan.

Indah melempar senyum kecut. "Kalo cuma buku tahunan sekolah, ya aku juga tahu itu. Masa boy band Korea namanya Buku Tahunan Sekolah? Yang bener aja kalian. Ngelawak emang."

"Aku enggak ngerti, Ndah. Aku cuma ngikutin One Direction sama drama Korea aja. Sisanya enggak," sahut Sulcha.

"Kalian semua anak kelas Biologi, 'kan?" tebak Avery sambil menunjuk ketiga temanku bergantian.

Sulcha menoleh, menatap Avery seperti habis melihat makhluk asing yang tersesat ke tempat ini. "Iya, kenapa?"

"Tidak apa-apa. Aku hanya pernah mendengar beberapa nama dari kelas kalian. Terutama dia," kata Avery seraya menunjuk Krishna dengan dagu.

Krishna mengerutkan kening. "Aku?"

"Ya, kamu. Siapa lagi yang namanya Krishna selain kamu? Kuberi tahu sedikit, cewek-cewek di kelasku suka membicarakanmu. Oh, mereka pernah bilang, jangan suka pasang tampang dingin. Kamu kelihatan seram sama suram kalo kayak gitu."

Harry terkekeh. "Mati kamu, Krish. Nanti kalo udah terpanjat, jangan lupa sama aku ya? Biasanya kalo yang udah terpanjat suka pada lupa daratan."

"Berisik," tandas Krishna.

Kepada para Prephan, dimohon untuk segera memasuki Ruang Simulasi Ketakutan karena ujian akan dimulai sepuluh menit lagi. Suara megafon memecah di antara keramaian aula ini, memberikan peringatan pada kami untuk segera menyudahi perbincangan hangat yang baru saja kami bangun.

Derus kursi dan embusan napas kasar merebak. Avery bangkit dari kursinya dan menatap kami satu per satu. "Sebaiknya, kita harus siap-siap sekarang. Ujian sebentar lagi dimulai. Tidak boleh ada yang terlambat, bukan?"

"Avery," panggilku saat ia hendak menarik langkah menjauh.

"Jangan sekarang, Mel. Untuk saat ini, aku adalah lawanmu. Jadi, jangan coba-coba membangun kontak denganku selama ujian dimulai. Sekarang kita adalah rival, ingat?"

5: Bombshell BlondeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang