Wattpad Original
There are 6 more free parts

Chapter 1: Distant Journey

16.4K 900 391
                                    

BERITA tentang lenyapnya salah satu proyek hitam pemerintah seolah menjadi buah bibir hari ini. Seperti kue yang baru saja keluar dari oven. Suara alto sang reporter seakan mendongengkan para penonton dengan rentetan kronologis kejadian di tempat perkara. Cyclone, begitu sang reporter menyebut nama proyek itu, hilang bersama lima proyek lain yang masing-masing merupakan senjata rahasia. Kemungkinan besar senjata-senjata itu hilang karena dicuri. Namun, sampai saat ini tidak ada yang tahu siapa dalang di balik enyahnya proyek hitam milik pemerintah. Bahkan sistem keamanan tidak mendeteksi gerakan-gerakan mencurigakan yang terjadi di malam itu. Seakan pencurinya bergerak seperti embusan angin, ringan dan bertenaga.

Aku tidak begitu antusias dengan topik itu, mengingat sekolah sempat menyibukkanku dengan beragam tes seperti ujian akademik dan psikologi pagi tadi, yang aku sendiri tidak tahu apa gunanya alih-alih kerugian yang kudapat sepanjang hari. Kepala pening dan berasap. Rasa mual yang menggelayuti perut. Sesuatu yang sering kau dapatkan ketika ujian, terlebih dadakan. Aku harus menenangkan diriku dengan tidak memikirkan apa pun. Toh, hilangnya keenam senjata itu bukan urusanku. Jadi, biarkan badan-badan pemerintah yang mengurusi masalah itu.

Hal yang kudapati begitu menjejak lantai mahoni lobi asrama: suara bising dari pengeras suara di ruang kumpul yang melantunkan bait-bait lagu Ashes milik Céline Dion. Bulu romaku berdiri tegak begitu sang Diva bersenandung penuh penghayatan. Aku bisa merasakan jiwanya menyatu dalam untaian lirik lagu yang ia dendangkan. Detik berikutnya, suara parau Fira-kakakku-merebak. Seakan-akan ia hendak menyamai bagaimana cara Céline menyanyikan lagu-lagu baladanya. Namun, yang didapatkan hanyalah sumbang.

Semoga telingaku masih bisa berfungsi dengan baik keesokan harinya.

Kamarku berada di lantai dua. Jadi, aku harus menaiki tangga berkayu-yang desainnya justru mengingatkanku pada tangga-tangga interior rumah besar kalangan kelas atas di Miami-terlebih dulu sebelum bisa membenamkan diri ke kasur. Aku mempercepat langkah, lebih cepat dari seekor citah yang berlari mengejar mangsanya. Dari kejauhan, aku bisa mendengar kasurku meronta-ronta, merajuk agar aku segera menghambur kepadanya, dan berkata, "Melati, ayo sini. Datang dan peluklah aku. Akan kuberikan kau kehangatan hakiki. Jangan pergi lagi."

Geli rasanya bila aku membayangkan itu. Justru makin terlihat kalau aku kelamaan sendiri sejak masih embrio. Menyedihkan, tetapi itu tidak masalah. Terlalu lama sendiri itu bukan akhir dari segalanya. Anggap saja Tuhan sedang ingin memberikan lelaki setampan Shawn Mendes atau seimut Tom Holland untukmu. Setidaknya, kalimat-kalimat itu menjadi pelipur laraku selama ini.

Sesaat setelah-deg! Ah, sial. Sentakan itu datang lagi dan akan terus terjadi jika aku terus mengingat dia, membawa kenangan-kenangan itu beterbangan di kepalaku seperti kupu-kupu dengan sayap beraneka warna. Entah kenapa rasanya seperti ada sensasi perih menyengat dadaku. Seakan-akan otakku menolak untuk mengingatnya meskipun sekilas.

Di depanku, di atas tangga, aku mendengar pintu ke arah lorong yang menghubungkan tangga dengan kamarku dibuka dan ditutup, kemudian diikuti suara langkah kaki yang familier di gendang telingaku karena sering mendengarnya ketika ia melewati kamarku atau sekadar masuk ke kelas bersama.

Dia Basudewa Krishna, tetapi aku lebih mengenalnya sebagai Krishna, teman atau lebih tepatnya salah satu kepingan masa laluku. Tinggi tubuhnya sekitar 180 senti dan rambut hitam berantakan menghiasi wajah ovalnya. Dia memiliki sepasang bola mata madu nan teduh sekaligus tajam, hidung kecil yang mancung, dan sikap pendiam yang terkesan misterius. Seakan ia tidak ingin beberapa bagian dalam hidupnya diketahui banyak orang. Kami pernah bertemu di San Fransisco kira-kira setahun lalu saat aku tengah mengambil jatah liburanku.

Lalu, kejadian yang membuatku ingin melupakannya itu pun terjadi. Bahkan aku tidak tahu apa yang membuat dirinya juga bersekolah di tempat yang sama sepertiku. Sepertinya semesta memang sedang ingin bercanda denganku, mempermainkanku seperti boneka, kemudian mencampakkannya.

Pandangan kami beradu di tempat itu, terkunci. Seperti biasa, Krishna hanya menatapku lekat, tanpa mengucapkan sepatah kata atau sekadar salam. Dia tidak akan pernah mau melakukannya. Aku bisa merasakan gelombang-gelombang rasa tidak enaknya terhadapku. Namun, di detik berikutnya, Krishna memutuskan kontak mata, menarik langkah, makin jauh dari jangkauanku. Makin sakit.

***

"Lihat siapa yang datang. Hai, Lidi Berjalan. Masih waras? Kamu enggak jadi gila karena tes laknat tadi, 'kan? Enggak perlu kuanter ke rumah sakit jiwa, 'kan?" Indah menyambutku dengan pertanyaan yang justru malah mengingatkanku pada ujian sialan itu. Bola matanya bergerak dari kiri ke kanan, membaca setiap kalimat yang dituangkan dalam novel Into the Water karya Paula Hawkins, sesekali membenarkan posisi kacamata yang acapkali merosot ke pangkal hidung.

"Aku udah gila sebelum tesnya mulai," jawabku langsung mengempaskan diri ke kasur, merasakan sensasi dingin yang menggelayuti kulitku. "Omong-omong soal lidi." Aku menggantungkan kalimatku sesaat. "Kamu 'kan juga lidi. Badan isinya cuma tulang sama kulit aja."

Indah menggeleng, pandangannya tidak teralih dari novel itu. "Maaf, aku ini Barbara Palvin. Mungkin kamu salah orang."

"Indah! Woi, Ndah! Cuci piring, Ndah! Kamu dari pagi sampe sekarang molor mulu! Ingat prinsip Pak Presiden kita, Ndah. Kerja! Kerja! Kerja!" Dari lantai bawah, suara Fira menggelegar seperti terompet yang ditiup tanpa tangga nada, keras dan sedikit menyakiti telinga. Aku berharap orang-orang di sekitar Fira tidak mengeluh ke dokter THT keesokan harinya.

Gadis berperawakan tinggi dan kurus itu hanya mencebik. Tanpa dosa, Indah mengabaikan suruhan Fira dan tetap melanjutkan bacaannya. "Mak Lamfir-ku sayang, aku di sini mau belajar, bukan daftar jadi TKI. Si anjay main nyuruh-nyuruh aja. Dikata aku ini babu apa."

"Pilih nyapu atau cuci piring?"

"Gimana kalo enggak dua-duanya? Jangan suruh aku, berat. Aku tidak akan kuat. Biar Mak Lamfir saja."

"Oh, berani ya? Ya udah, enggak usah makan nanti malem."

Bola mata Indah diputar malas, berteriak tidak kalah seru di detik selanjutnya seperti benar-benar mengibarkan bendera putih, "Oke, aku cuci piring! Sekalian mau bikin waterboom di wastafel."

"Siap, Ndah. Berarti aku enggak usah cuci piring yang tingginya udah kayak Gunung Everest. Alhamdulillah, tanganku enggak makin kasar."

"Enggak jadi. Kayaknya nyapu is better than washing the dishes. Aku lupa kalo aku takut air. Nanti seluruh rambut di tubuhku membeku."

Aku bisa mendengar samar-samar Fira menggerutu di bawah sana, tetapi tidak menangkap kata-kata apa yang terlontar dari mulutnya. Kuasumsikan sebagai perkataan yang tidak patut dicontoh, mengingat intensitas umpatan Fira makin hari, makin tinggi dengan kadar estrogen yang terus meningkat. Indah meletakkan novelnya di kasur, dengan berat, bangkit dari posisi ternyamannya, dan melangkah malas keluar kamar.

Kini aku benar-benar sendirian. Tidak ada teman yang bisa diajak berbincang ataupun melakukan sesuatu yang agaknya sedikit bermanfaat. Aku menjumput novel Indah telak, tanpa meminta izin terlebih dulu. Setidaknya, ini bisa sedikit membunuh waktu sampai makan malam tiba.

Ting!

Layar ponselku menyala, menampilkan notifikasi-notifikasi yang belum kubuka sejak kemarin. Salahkan tes-tes sialan itu yang membuatku jadi tidak bisa bermanja-manja dengan ponsel untuk melampiaskan hasrat dan gejolak remaja sejenak. Mungkin saja itu pesan dari akun resmi, begitu pikirku karena kebanyakan pesan masuk berasal dari berbagai akun resmi yang kutambahkan secara acak di salah satu akun media sosialku. Tanganku meraih benda sejuta umat itu, membuka pemberitahuan yang ternyata sebuah surel. Dahiku berkerut, aneh. Tidak biasanya ada orang yang mengirimiku surel.

Aku membaca setiap kalimat dalam surel itu, saksama. Barangkali Ms. Miller memberikan beberapa materi tambahan tentang biomolekuler-aku mengambil kelas utama Biologi. Namun, aku salah. Ini bukan surel dari Ms. Miller. Ini surel dari seorang anonim. Bahkan aku tidak tahu alamat surel yang dipakainya.

To :

From : an

Dear Melati,

Temui aku di Gapstow Bridge tengah malam nanti. Ada hal penting yang ingin kubicarakan denganmu.

See you really soon!

Sincerely,

An

P. S. Pastikan tak ada orang yang membuntutimu.

5: Bombshell BlondeWhere stories live. Discover now