Bab 9

2 0 0
                                    

Daniel

Terdengar suara mesin mobil berhenti dari belakangku. Aku tahu Ia mengejarku, aku tahu bahwa Ia tidak mengijinkanku memberitahunya.

"Kau tak bisa lakukan itu, Daniel" ucapnya begitu keluar dari mobil

"Dan aku tak bisa melihatnya terluka" balasku

"Karna aku tahu bahwa John tidak akan membiarkan Samantha keluar tanpa luka" sambungku dan Agent Paulette terdiam.

"Sam?" ucapku setelah aku tersambung dengannya dalam telepon.

"Ya?" balasnya

"Bisa kau bukakan pintu?" tanyaku

"Oh, ya" jawabnya sebelum memutus telepon.

Lalu kudengar langkah kaki yang tergesa-gesa. Jelas itu Samantha berlari di tangga. Dan keluarlah Ia dengan celana pendek hitam dan tank top berwarna biru muda gradasi pink muda.

"Aku perlu bicara denganmu, benar-benar bicara" ucapku sembari melangkah masuk

"Okay" balasnya

"Daniel, kuperingatkan kau!" seru Agent Paulette

"Okay, ini membingungkan" ucap Samantha seraya memegang kepalanya dengan 2 tangan.

"Pertama, kalung mu itu adalah alasan kita dikejar oleh 5 orang bersenjata itu. Kedua aku dan ibumu adalah agen" ucapku

"Tunggu dulu, jadi kalian berdua agen?" tanyanya

"Ya, dan aku berjanji pada ibumu untuk menjaga mu, tapi percayalah bahwa aku akan tetap melakukan itu walau ibumu tidak memintaku" jawabku

"Dan kalung ini adalah alasan kau tertembak?" tanyanya lagi dengan tangan memegang kalung di lehernya. Kali ini Agent Paulette hanya berdiri mematung.

"Bisa dibilang begitu" balasku

"Oh God, ini terlalu banyak untuk diproses" katanya dan aku mengangguk

"Jadi, kau menipuku selama 4 bulan" ucapnya menunjukku

"Dan kau berbohong padaku, pada George, seumur hidupmu?" tanyanya berlinang air mata

"Selama ini, kau berbohong pada kami, bagaimana kau dapat hidup dengan itu?" ucapnya

"Apa ayah juga agen? Apa pekerjaan itu yang membuatnya terbunuh?" tanyanya dengan nafas kecewa.

"Kau, Daniel, adalah orang pertama yang aku percaya, orang pertama yang membuatku merasa aman selain George" ucapnya meneteskan air mata.

"DAN KAU MELAKUKAN ITU, KARNA KAU BERJANJI PADANYA. DEMI SEBUAH JANJI" ucapnya dengan air mata yang terus menetes, membasahi kedua pipinya. Aku berusaha untuk merengkuhnya, namun Ia mengelak.

"Sam, aku akan tetap melakukannya sekalipun aku tidak berjanji pada ibumu, tolong, dengarkan kami" pintaku dengan menahan tangannya.

"Oh, percayalah bila kau diposisiku, kau bahkan tak akan menatapku sekarang" ucapnya dan Ia kembali ke kamarnya.

"Oh Tuhan" keluhku

"Aku sudah mengatakannya padamu" ucap Agent Paulette melewatiku yang berdiri frustasi.

"Bisakah aku berada di sini, untuk sementara?" tanyaku, putus harapan

"Ya, tentu saja" ucapnya yang kubalas tatapan terimakasih.

Aku berencana untuk tetap di sini, sampai Samantha mau mendengar penjelasanku. Namun waktu terus berjalan, dan Ia tak kunjung turun. Sekarang sudah lewat pukul 9 malam. Dan Ia tidak turun untuk mengambil makanan atau minum, atau apa pun yang mungkin Ia butuhkan.

Saat ini aku hanya duduk di sofa dan terus mencari data mengenai Williams. Agent Paulette berkata bahwa, mereka mungkin masih memiliki stok narkoba. Namun tidak di ketahui lokasinya oleh siapapun, bahkan John.

"Sudah dapat sesuatu?" tanya Agent Paulette dari belakang

"Belum, apa Samantha keluar dari kamarnya?" tanyaku

"Kamarnya masih terkunci" jawabnya

"Um, aku ingat dia pernah bercerita bahwa setelah ayahnya meninggal, Ia sering berada di depan window seat saat malam, apa itu benar?" tanyaku

"Yah, itu sering terjadi, namun kau akan terkejut bahwa kau akan menemukannya di atap, alih-alih di balkon" jawabnya

"Terimakasih" ucapku

"Apa kau keberatan jika aku membuat minum hangat?" tanyaku

"Tidak, lakukan yang kau mau" ucapnya sebelum kembali ke dalam kamar.

Dalam diam, ku rebus air hangat dan mulai membuat teh panas, dengan gula 2 sendok kopi di dalam botol minum berukuran 600 ml. Setelah itu, aku memasukkannya dalam tas, begitu juga dengan 1 kemasan biskuit chocolate chips dan permen karet.

Kemudian, kuambil tangga dari gudang dan membawanya ke samping balkon kamar Samantha. Dan aku mulai memanjat dengan tas di punggung dan ponsel di saku.

Langkah demi langkah. Aku sangat berharap bahwa Ia masih di window seat karna atap akan sangat berbahaya. Namun, begitu aku menapakkan kaki di balkon, kamarnya telah kosong. Lalu kulihat seorang gadis dengan celana legging panjang berwarna abu-abu dan hoodie berwarna hitam.

Tanpa pikir panjang, aku menyusulnya. Syukurlah latihan selama 9 bulan tidak sia-sia, pikirku, karna aku duduk di samping Samantha 2 menit kemudian.

"Disini cukup dingin" ucapku, memulai pembicaraan. Atau begitu yang ada di pikiranku

"Aku bawakan kau teh hangat" ucapku setelah mengeluarkan botol minum miliknya dari tasku. Dan Ia tetap tidak menjawab, melirik pun tidak.

"Ayolah Sam, aku tahu kau marah, tapi kau tak bisa tidak memakan apa pun, kau tidak boleh membiarkan perutmu kosong" bujukku dan Ia tetap tidak merespon.

"Baiklah, akan ku tinggalkan tas ini disini, dan aku akan menunggu di balkon" ucapku.

Lalu aku turun, dan duduk di lantai balkon. Dingin memang, namun aku tak mau meninggalkannya sendirian di malam hari. Di atap rumah.

Untuk mencegah kebosanan, aku keluarkan ponsel dan mulai mencari lagu yang tepat untuk saat ini. Maka kupilih lagu "Saving Light" milik Gareth Emery & Standerwick dan mulai memutarnya dengan speaker yang kubawa.

Samantha masih tidak bergerak. Ia hanya duduk dengan kedua lutut menutupi tubuhnya dan tangan yang melingkar di lututnya itu. Beberapa menit kemudian, lagu "Saving Light" berganti menjadi "Worry" milik The Vamps, band favoritnya. Itu karena aku sudah membuat playlist sebelumnya, aku tahu bahwa hanya musik lah yang dapat menenangkannya.

Dan, benar. Tak lama dari itu, aku melihatnya mengusap air mata. Aku sungguh-sungguh ingin mendekapnya saat ini, namun apa boleh buat. Menoleh pun Ia tak sanggup.

Perlahan-lahan Ia mulai mengambil tas yang ku bawa dan mulai melangkah turun. Saat itu pula, aku berdiri dan merapikan jaket ku.

Namun dugaanku salah, Ia meletakkan tas yang kubawa di lantai dan melangkah masuk ke dalam kamar. Seteah Ia mengunci kamarnya dan menutup tirai jendelanya. Kini aku hanya memandang kain hitam dan pintu kayu putih.

Baiklah, aku akan memberinya waktu untuk sendiri. Tapi aku tidak meninggalkan rumah ini. 

The Infinity NecklaceWhere stories live. Discover now