Epilogue

0 0 0
                                    

Samantha

Aku tidak percaya, aku baru saja mengatakan itu semua di hadapannya.

Setelah 8 tahun, dan yang pertama aku ceritakan adalah bagaimana berantakannya aku 4 tahun silam. Sungguh, luar biasa.

Kini tatapnya terpaku pada ku. Astaga, aku lupa bagaimana mata biru gelapnya dapat membuatku tersesat.

Setelah sekian lama, aku tidak berhubungan dengannya, yang paling kurindukan adalah tatapnya. Entah bagaimana caranya, aku selalu merasa aman begitu Ia menatapku. Seperti rumah, aku selalu merindukannya.

Selama ini aku mengembara, hingga lupa akan bagaimana rasanya berada di rumah.

Lalu kulihat ketegaran di matanya. Ia berkata,

"Jadi, apa kabar pacarmu?" jarinya menari di ujung mug, disertai tatapnya yang tidak menyiratkan emosi apa-apa.

"yang menghilang tadi? Kami sudah lama putus, sekitar 4 tahun lalu" jelasku

"Apa yang terjadi?" ucapnya pelan

"Kami tidak sejalan. Walaupun ya, dia memang menghiburku, dan bukan salahnya Ia ada saat aku berantakan, tapi tetap saja" balasku tanpa ragu.

Aku sungguh bersyukur aku tak lagi berhubungan dengannya.

"Bagaimana dengan mu? Ada yang mendapat kehormatan?" tanyaku sembari tersenyum menggoda.

"Tidak ada yang serius, kami hanya kencan beberapa kali lalu aku memutus hubungan" Ia tertawa kecil

"Kenapa?" aku terkejut.

"Tidak adil rasanya menjalin hubungan dengan seseorang saat kau tidak benar-benar mencintainya" Matanya meredup.

"Ya, aku setuju denganmu. Itu kenapa aku lega saat Stephen, pacar yang aku bilang tadi, pergi" Dahinya berkerut.

"Ceritanya panjang" ucapku, berharap Ia membaca mataku, yang memohon untuk tidak membawa masa kelam itu hidup kembali.

Ia mengangguk, tanda mengerti.

"Kau tahu, aku berpikir, apa yang terjadi bila aku- bila saat itu aku cukup berani, untuk menghubungimu" ucapnya, memecah kesunyian.

Aku menatapnya bingung.

"Benar, kau bukan satu-satunya yang mendapat perasaan 'ingin menelpon'. God, aku kacau selama 3 hari karena itu." Sambungnya

Aku duduk terpaku. Setelah semua roller coaster yang aku alami, yang membuatku merasa aku tidak akan sepikir lagi dengan Daniel karena seberapa banyak aku berubah, ternyata salah.

Pada akhirnya, kami memang 2 orang dengan hati dan pola pikir yang sama.

"Aku tidak pernah bisa serius dengan perempuan lain, karena mereka bukan kau. Aku tidak pernah memandang hoodie sama lagi, karena itu adalah baju favorit mu. Aku selalu makan pasta jamur saat aku mengalami hari yang berat, karena dengan itu aku merasa seolah kau di sini. Aku tak pernah mendengarkan lagu "there for you" karena itu mengingatkanku terlalu banyak tentang mu."

Dengan suara bergetar Ia berkata,

"Aku tidak pernah bisa melepaskan mu, Sam. No one, compares to you" Rahangnya mengeras. Ia menatap ku, dan dari situ aku tahu Ia bersungguh-sungguh.

"Aku pengecut karena tidak memberitahu mu apa-apa" Ia menatap ke jendela.

Aku tahu Ia menunggu responku, atau setidaknya reaksiku. Namun aku masih bimbang. Apa yang terjadi jika aku juga mengakuinya, mungkin saja apa yang kuharap akhirnya menjadi realita. Namun siapa yang tahu apa yang terjadi dalam 8 tahun?.

Ini bisa saja menjadi pertemuan terakhir kami. Maka, ku ambil nafas panjang, dan memejamkan mata. Lalu aku berkata,

"Kau bukan satu-satunya yang pengecut disini"

Dengan itu Ia berpaling, menatapku terkejut.

"Aku sekarat karena rasa yang kupendam terlalu lama. I'm stuck with you" ucapku, sembari menatapnya lurus.

Aku tersenyum lega. Akhirnya, rasa itu dapat terkatakan, tanpa beban 'akan merusak pertemanan'.

Karena nyatanya kami terjebak di kapal yang sama. 

The Infinity NecklaceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang