Bab 20

0 0 0
                                    

Samantha

Satu minggu sudah berlalu sejak John membawaku ke markas kecilnya. Kini, aku duduk terdiam di apartement Daniel. Kupandang perawakannya yang membuatku ingin tenggelam dalam dekapannya. Aku tidak berlagak berlebihan, aku hanya merasa aman begitu merasakan kehadirannya.

"Sam, bisa tolong ambilkan baju-baju yang ada di lemari?"

"Ya, tentu" balasku sembari mengambil semua pakaian yang tersisa dan menyerahkannya pada Daniel.

"Ada lagi yang bisa kubantu?" ucapku berdiri di sebelahnya.

"Mungkin beberapa pigura di atas meja?" ucapnya

"Okay"

Kemudian, aku berjalan ke arah meja nightstand, dan mengambil satu-satunya pigura yang ada di atasnya.

"Ini kakakmu?" tanyaku

"Yeah, tepat saat Ia lulus dari akademi" balasnya sebelum mengambil pigura itu dari tanganku.

"Apa kau keberatan jika aku mengecek laci?" tanyaku

"Tidak sama sekali" balasnya.

Lalu aku duduk di tepi ranjangnya dan membuka laci meja nightstand nya. Di sana terdapat jam, pisau lipat, dan senter. Namun, ada kertas foto dalam posisi terbalik. Ku ambil foto itu dan mengamatinya, ini adalah foto ketika kami ada di pesta, beberapa saat sebelum Daniel tak sadarkan diri.

Beberapa hari lalu, saat aku duduk di bangku balkon kamarku, Daniel muncul, dengan celana sweatpants hitamnya dan hoodie merah tuanya. Lalu Ia bersandar pada pagar balkon. Tubuhnya kaku, Ia menatap lurus, ke arah jalanan sunyi didepan rumahku.

Melihatnya seperti ini, kuletakkan novel di bangku, dan berdiri di sebelahnya, bersandar pada pagar yang sama.

"Kakakku, Logan, menelpon" ucapnya dengan nada hampa.

"Lalu, bagaimana?" tanyaku

"Ia dihubungi direktur, agar aku masuk di akademi, untuk menempuh jalur resmi" jawabnya dengan nada yang sama. Tatapnya terpaku pada jalanan, Ekspresinya datar, bahkan tak ada sinar dimatanya.

"Ow, jadi kapan kau pergi?" ucapku kemudian, dengan nada hampa yang sama.

"Lusa" balasnya, kini wajahnya menatap tanah yang ada jauh di bawah kami.

"Itu- sangat cepat" ucapku setelah menelan ludah yang terasa seperti batu.

"Yeah, terlalu cepat" balasnya.

Aku hanya bisa terdiam. Aku terlalu terkejut untuk dapat memikirkan bagaimana aku harus membalasnya.

"Direktur sudah mencabut semua dataku yang ada di SMA. Jadi setidaknya aku tak perlu mengurus itu" ucapnya terkekeh. Keheningan menggantung di antara kami. 

Sama seperti saat ini, tanganku masih memegang cetakan foto tersebut, tatapku pun membatu. Menyadari aku terdiam, Daniel berdiri dan duduk di sebelahku.

"Itu adalah malam tergila ku" ucapnya, tertawa kecil. Mencoba menebas kabut yang hinggap dalam benakku. Meski dibalik sikap tegarnya, ada rasa yang dipaksa bungkam.

"Yeah, bagiku juga" bisikku

Daniel

Kini kami ada di bandara. Samantha bersikeras untuk menunggu hingga aku take off. Maka disinilah kami, duduk di ruang tunggu hingga penerbanganku dipanggil.

20 menit berlalu sejak kami tiba, dan tak satupun dari kami memulai perbincangan. Kurasa ini hanya terlalu berat bagi kami berdua, sehingga tak ada yang berani berkata-kata tanpa suara yang bergetar.

"Jadi, apa rencanamu setelah ini?" tanyaku setelah beberapa saat yang terasa seperti 45 menit penuh kesunyian.

"Melanjutkan SMA dan kuliah" jawabnya. Tatapan nya masih terpaku pada layar hitam ponselnya yang Ia mainkan dari tadi. Ku anggukkan kepala sebagai respon mengerti.

30 menit berlalu dan tak satupun dari kami melanjutkan perbincangan tadi. Hingga penerbanganku akhirnya dipanggil.

Dengan berat hati aku berdiri, begitu juga Samantha. Kini kami berhadapan, tatapku terpaku pada mata coklat tuanya. Akupun tersenyum kecil, mengingat bagaimana mereka bersinar ketika bersemangat, dan membulat ketika aku membuat lelucon tentangnya.

Namun kini, aku hanya melihat sendu. Semakin lama aku menatap, semakin berat bagiku tuk melangkah. Walau bibirnya tak bersuara, aku mendengar dengan jelas, permohonannya agar aku tinggal. Semua itu nampak dalam tatapnya. Sebesar aku ingin tersesat dalam tatapan Samantha, aku ingin mengubur diri karena frustasi melihatnya menangis dalam hati.

Maka, ku lingkarkan lenganku di pinggangnya. Berusaha tuk menyimpan dalam ingatan, rengkuhannya, seberapa kecil pinggangnya, bagaimana tubuhnya menghangatkanku dan rasa aman serta lega ketika aku memilikinya dalam dekapku.

Ia memelukku erat. Rupanya Ia melakukan hal yang sama, menyimpannya dalam ingatan akan bagaimana berada dalam dekapan satu sama lain. Maka, ku benamkan wajahku di lekuk lehernya, dan Ia mempererat lengannya di leherku.

Sesaat kemudian Ia menarik diri, dengan mata yang basah dan suara bergetar Ia berkata,

"Terimaksih untuk semuanya, Safe flight Daniel"

Tak ingin membuat tangisnya makin deras, aku menundukkan kepala dan menyembunyikan air mataku.

"Yeah" ucapku yang lebih terdengar seperti bisikkan alih-alih balasan.

Ia menyapukan tangannya di rambutku, kemudian mengelus wajahku dan dengan nada sok tegar Ia berkata,

"Kau akan baik-baik saja, Dan"

Kalimatnya membuat kepala ku tengadah. Ku ulurkan tangan ke dagunya dan membawanya mendekat perlahan. Kemudian aku mengecup keningnya. Sebagaimana aku telah melakukannya belasan kali.  

Aku menarik diri, dan menatap sepasang mata itu untuk terakhir kali.

"Selamat tinggal, Samantha" bisikku.

Ku ambil koperku dan mulai berjalan ke gate penerbanganku. Untuk sesaat aku berhenti dan menoleh kebelakang. Pandangan Samantha tak berpaling dariku. Ia masih berdiri dengan tangan kanan mennyangga dagunya, sedang tangan kirinya menopang siku kanannya. 

Ia tersenyum dan mengangguk.

Seketika itu juga, aku tau bahwa aku kehilangan satu-satunya orang yang membuatku merasa bahwa hidup itu berarti, bahwa setiap momen itu berharga. Satu-satunya orang yang membuatku ingin menjadi yang terbaik dalam segalanya.

Seketika itu juga, aku tau aku kehilangan hal yang paling penting dalam hidupku.

The Infinity NecklaceWhere stories live. Discover now