2

563 102 30
                                    

Apology

...

Mentari mulai beranjak pergi, angin sore berembus lebih kencang dari biasanya.
Aku semakin mengeratkan jaket yang aku pakai. Sepertinya, musim hujan akan kembali menghampiri indonesia.

Sedari tadi aku duduk pada pinggiran danau kecil ini, mataku menerawang kearah matahari yang sedang berada dalam perjalanan pulang menuju tempat istirahatnya.

Senja. Seperti itulah kebanyakan orang memanggilnya. Semburat jingga terlukis indah menghiasi langit sore yang terlihat sangat ceria melepas kepergiannya. Melihat semua itu sudut bibirku terangkat, membentuk garis lengkung yang jarang aku tunjukan pada semua orang.

"Sesuatu yang indah, ternyata juga bisa pergi juga." Monologku, lirih.

Ponsel yang berada disaku jaket bergetar, dengan sigap tanganku merogohnya. Aku menatap sekilas nama yang tertera pada layar ponsel, ternyata Papa yang menelpon. Aku menerima telepon tersebut.

"Astrid, kau dimana? Ini sudah sore nak."

Belum sempat aku menjawab, Papa sudah kembali berbicara membuatku kembali mengatupkan bibir untuk diam.

"Sekarang ada dimana? Sama siapa? Aduh, anak ini kalau pergi tidak pernah bilang."

Please, sekarang aku sudah besar bisa menjaga diriku sendiri.

Aku hanya diam, tidak ada selera untuk menjawab pertanyaan beruntun dari Papa membuat sebuah hela nafas lelah terdengar dari seberang.

"Astrid, Kau dimana? Beri tahu papa."

Suara Papa terdengar lembut dan tenang seperti tidak pernah terjadi apa-apa.

"Di tempat biasa." Ucapku.

Aku langsung memutuskan sambungan telepon secara sepihak. Aku kembali diam, kembali terhanyut dalam lamunan panjangku.

Lima belas menit berlalu, suara mesin mobil berhenti berada tepat diarah belakang. Aku menoleh dan melihat Papa keluar dari sana dengan setelan baju santai yang membuat beliau nampak lebih muda dari usia yang sebenarnya. Muka tegas tanpa guratan senyum itu membuat karismanya lebih keluar.

Papa yang baru datang, langsung saja duduk disampingku tak memperdulikan celananya kotor oleh tanah.

"Kenapa pergi gak izin dulu?"

Suara Papa terdengar sangat dingin mengalahkan dinginnya udara sore ini. Bukannya menjawab, aku malah tertunduk lesu tidak berani menatap wajah Papa yang sedang memperhatikan kumparan air danau didepannya.

"Kalau izin, mungkin Papa antarkan." Lanjut Papa, suaranya lebih melembut membuat hatiku terasa hangat sekarang.

Aku mendongak menatap Papa hati-hati, Papa menatapku dengan senyum hangatnya membuat kedua mataku mulai memanas tanpa persetujuanku.

"Astrid kelilipan? Matanya jadi merah itu." Kata Papa dengan wajah jenakanya.

Air mata lolos keluar dari sarangnya, aku tersenyum kecut sambil menggeleng pelan. Aku menumpahkan semuanya.

LOVE : MYSELF [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang