Everything Must Go

3.4K 382 24
                                    

Hujan yang turun selepas tengah malam meninggalkan jejak kesegaran pada rerumputan. Matahari baru akan terbit kira-kira satu jam lagi. Udara dingin di awal hari tak mengubah keinginan Kang Prast untuk duduk-duduk di teras belakang. Heningnya pagi, sebuah anugerah yang tak selalu bisa ia nikmati, apalagi dalam keadaan sadar.

Biasanya, ia kerap bangun setelah mentari tinggi menantang angkasa. Sudah pasti ia melewatkan salat pembuka hari. Entah kebanyakan minum atau memang tubuhnya penat setelah begadang berhari-hari. Namun, tidak kali ini.

Apa yang terjadi semalam, membuatnya tertampar. Hidupnya bisa berakhir kapan saja. Banyak kesalahan yang belum sempat tertebus.

Terbayang sesosok wanita terkulai lesu di atas ranjang. Sisa-sisa kecantikan masih melekat pada wajahnya yang semakin tirus. Selaras dengan tubuhnya yang terus menipis.

Maafkan dirimu sendiri, Dion. Hidup dengan rasa bersalah itu jauh lebih menyakitkan ketimbang menunggu ajalmu. Kata-kata di hari terakhir ia bertemu dengan wanita itu. Wanita yang selalu memanggilnya dengan nama depannya, selain Ibu. Satu-satunya wanita yang membawa pergi hati dan segenap cinta tulusnya.

"Tidurnya enak semalam, Pa?"

Lamunan Kang Prast terhenti. Seiring ia mendongak, bayangan wanita itu seakan tersenyum tipis ke arahnya. Bersatu, melebur pada seraut wajah yang menyiratkan kemiripan cukup lekat. Wajar saja, karena ada separuh darah wanita itu mengalir dalam nadi gadis yang berdiri di sampingnya ini.

Secangkir teh manis hangat tersodor untuknya. Ah, kapan terakhir kali ia merasakan perhatian seperti ini? Kasih sayang yang membuat kita selalu ingat untuk pulang?

"Lumayan. Walaupun ada yang suaranya ngoroknya mirip traktor di samping," ujar Kang Prast terkekeh.

Tentu saja bagian Rio mengigaukan nama kamu dalam tidur, biar aku sendiri yang tahu. Papa Liam mereguk tehnya, sambil menahan dengusan geli.

Liam menarik ritsleting jaketnya. Berjalan perlahan, ia mendekati kursi di samping Papa. Memandang pria yang semalam turut hadir dalam kegilaan hidupnya, ia baru menyadari ada guratan lelah dan penat pada wajah yang biasanya tampak keras itu. Apakah selama ini ia memendam kesedihan dan kekecewaan sebanyak apa yang Liam timbun?

"Akhirnya datang juga hari ini." Pria yang terlihat tampan dan tegap dalam kaus lengan panjang hitam itu buka suara.

"Aku berhutang banyak sama kamu, Liam. Sepuluh tahun meminta maaf setiap hari pun belum tentu cukup untuk membayarnya."

Suara Kang Prast tertahan. Ia sudah membayangkan situasi ini berkali-kali dalam pikirannya. Menyusun kata-kata yang tepat jika saatnya hadir. Namun, kenyataan tidak semudah apa yang direncanakan.

Sepasang tangan yang terasa dingin menggenggamnya. Tangan yang lebih kecil, namun mampu membangkitkan sebuah keberanian dalam jiwanya.

"Liam enggak akan kemana-mana, Pa. Omongin semua yang Papa selama ini simpan. Liam bakal denger semua."

Kenangan de ja vu berkelebatan di dalam benak Kang Prast. Bendungan perasaan dalam dadanya seolah jebol. Kalimat yang sama, dulu sekali dilontarkan oleh dia. Satu momen yang akhirnya meruntuhkan pertahanannya sebagai seorang pria, mencintai wanita yang sudah menjadi pasangan saudara kembarnya sendiri.

Di tengah sedu sedan, Kang Prast berucap, "Kamu enggak pernah jadi sebuah kesalahan, Liam. Kamulah bukti kalau cinta Papa dan Mama itu ada, nyata."

Untuk pertama kalinya, Dion Prasetya menumpahkan seluruh isi hatinya. Seluruh rahasia yang tersimpan rapat, yang belum pernah ia bagi ke siapa pun. Termasuk kepada cinta sejatinya, Tara, yang tak pernah sampai hati ia ungkapkan semuanya.

Bittersweet Love Rhapsody [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang