Momen -14-

304 50 5
                                    

Aku menghela napas panjang. Aku tidak sekolah hari ini. Hanya menghabiskan hari diatas ranjang dan menatap langit-langit ruangan.

Aku memang sakit ya? Perasaan ini datang lagi bagai ombak yang menggulung aku hancur berkeping-keping.

Dadaku sesak. Kepalaku berat dan rasanya aku tidak ingin ada di dunia lagi.

"Apa sih yang kulakukan?"

Ponselku berdering beberapa kali. Dari mama, aku tidak ingin mengangkatnya. Aku sudah membaca pesannya yang tidak penting itu.

Katanya akan ada acara makan malam dengan kerabat bisnisnya. Aku tahu kerabat bisnis yang dimaksud adalah laki-laki yang berhasil memikat hatinya dari kejenuhan  hubungannya dengan Papa dan orang itu ingin bertemu denganku, anak calon isterinya.

"Kalian jahat sekali." Aku bangkit. Mengacak isi laci dan mengambil sebotol obat dari dokter dan meneguknya.

Berusaha menenangkan diri. Air mataku jatuh begitu saja. Jangan pikir laki-laki tidak menangis, kami juga menangis dan rasa ini sakit sekali.

"Sudahlah. Ayo kita akhiri saja." Aku mengacak laci bagian bawah. Membiarkan tanganku tergores pecahan kaca dan isi cutter yang berantakan.

Mereka egois
dan aku beban mereka.
Jadi lebih baik aku ...  berhenti saja.

Aku mencengkram benda-benda itu dengan kuat seiring dengan tekadku yang bulat. Aku mengangkat salah satunya mengarahkan benda itu pada leherku.

Kali ini, ponselku berdering lagi. Dari papa. Apa sih ini? Tumben sekali mereka menelpon.

Sayangnya aku tidak bisa angkat telepon itu.

Tidak berapa lama setelahnya papa mengirim pesan. 

Rel. Papa akan bercerai dengan Mama.

Aku melempar ponsel itu kesembarang arah. Berteriak dan menghempaskan seluruh barang diatas meja. Menghempaskan keluar laci meja dan membiarkan benda-benda tajam simpananku berserakan diatas lantai.

Aku jatuh terduduk dilantai. Menggeram dan berteriak kesal. Tidak peduli apa pikir tetangga. Aku sudah terlalu muak.

Darah menetes dari telapak tangan kiriku aku tertawa kecil melihatnya. Darah ditelapak tangan nggak akan bikin mati.

Aku meraih cutter dan bergerak mengarahkannya nadiku, menggoresnya perlahan dan merasakan ras perih yang melegakan.

PRANG!

Buku catatan hitam berukuran A3 masuk ke dalam kamar memecahkan kaca jendela yang aku tutup rapat-rapat sejak pagi.

Pergerakanku terhenti, aku menatap kedua mata cokelat bundar itu basah menitikan air mata. Bahunya naik turun penuh emosi.

"FARREL KAU BODOH YA?!"

Begitu katanya diatas catatan yang ia lempar kasar menembus jendela kaca yang tertutup rapat.

28/05/2018

Setelah Dia PergiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang