Momen -5-

514 51 4
                                    

"Farrel!"

Hari senin, matahari meninggi, langit membiru dan aku tidak pergi kemana pun. Hanya beranjak sedikit dari kasur dan duduk di depan jendela.

Menatap kedua mata cokelat itu yang tampak khawatir. Kondisiku berantakan. Beberapa goresan di lengahku masih memerah. Semalam kesadaranku bagaikan hilang seluruhnya.

Aku melakukannya lagi. Kegiatan gila melukai diriku sendiri untuk rasa lega yang luar biasa tidak bisa kujelaskan.

"Farrel!"

Untuk apa juga sih aku di sini? Bukannya tidak ada yang peduli denganku? Bukannya tidak ada yang menginginkanku?

Termasuk mereka.

Bruk!

Lamunanku buyar. Sebuah pensil melesat masuk ke dalam kamarku. Bahu mungil itu naik turun menatapku dengan emosi.

"Dengarkan aku! Jangan berpikiran begitu!"

"Berpikiran apa?" Aku menatapnya tidak mengerti. "Memangnya kau bisa membaca pikiranku?"

Dia menghela napas panjang. Menatapku intens.

"Kau itu manusia yang berharga Farrel. Ingat itu."

"Apa sih?" Aku menatapnya risih. Padahal aku baru mengenalnya beberapa hari lalu. Kenapa ia bertingkah seolah mengenalku dalam sekali?

Aku menarik tirai jendela dengan kasar. Menghempaskan tubuh ke kasur. Mengabaikan raut wajahnya yang khawatir.

16/04/2018

Setelah Dia PergiWhere stories live. Discover now