Momen -10-

378 50 6
                                    

Malam semakin larut dan kami---aku dan Floren masih terjaga saling melempar obrolan ringan. Dia pandai sekali membuat suasana hatiku membaik.

"Kau tahu mengapa langit itu biru?"

"Kenapa?" tanyaku penasaran, bukan dengan teorinya, melainkan dari sudut pandang gadis manis dihadapanku.

"Karena laut itu biru, dan dia selalu berhadapan dengan langit. Jadi mereka saling bertatapan dan jatuh cinta, saling memahami, saling menyerupai."

Aku terkekeh. Teorinya sangat puitis sekali.

"Kamu tahu kenapa  matahari bersinar pagi ini?"

Kali ini dia tersenyum lebar sekali. Seolah tampak yakin pernyataannya dapat menghiburku.

"Kenapa?"

"Karena dia ingin menyinari manusia-manusia berharga yang saling memilin takdir dimuka bumi, Farrel."

Aku tersenyum. Hatiku terasa tenang mendengarnya. Entah kenapa bayanganku, suaranya begitu lembut dan ringan. Entah kenap ketika membaca pesannya aku seolah mendengar suarnya ditelingaku dengan lembut.

"Seperti kamu ya?" Aku melempar balik pernyataannya.

Dia terkejut dan tertawa kecil. Pipinya sedikit bersemu merah. Lucu sekali.

"Bagaimana sekolah? Menyenangkan?"

Aku menggeleng.  "Tidak juga. Ada banyak macam-macam karakter manusia di sana, ada yang menyenangkan, biasa aja atau bahkan menyebalkan."

Kedua mata itu malah menatapku berbinar.

"Bukankah itu seru?"

"Tidak. Itu sama sekali tidak seru. Itu melelahkan, kau tahu? Apalagi lebih banyak anak menyebalkan daripada yang lainnya." Aku melempar pandang pada bulan sabit yang menyinari langit malam dengan indah. 

"Seperti apa menyebalkannya?"

"Kau tahu? Aku murid yang suka belajar. Aku tidak pintar, aku hanya suka mepelajari banyak hal dengan kekosongan dalam hidupku ini." Aku menatap kedua mata cokelat itu lamat-lamat.

"Coba kau tatap langit malam, Flo." Aku mengangkat wajahku. Dia mengikuti. "Aku seperti bulan. Menonjol, paling pertama diperhatikan diantara kelamnya malam. Kadangkala pasti para bintang kesal dengan bulan yang selalu dinomor satukan."

Aku tersenyum. Menurunkan pandangan.  "Aku juga begitu. Banyak yang tidak suka padaku, atau malah yang memanfaatkan pengetahuanku."

Dia mengangguk.

"Tapi masih ada orang baik di sana bukan?"

Aku memutar bola mata. "Aku tidak yakin."

"Kau selalu berpikiran seperti itu?"

Alisnya bertaut. Ia tampak khawatir menatapku.

Aku mengangguk. Di dunia ini kamu harus kritis menilai kepribadian seseorang, 'kan?

"Kau terlalu berburuk sangka bukannya, Farrel?"

Tubuhku kaku membacanya. Emosiku tiba-tiba naik kembali begitu saja.

"Selamat malam." Aku menutup jendela, menarik tirainya dan langsung menidurkan diri dengan kekesalan yang melingkupi. 

3/5/2018

Setelah Dia PergiWhere stories live. Discover now