Garam

55 5 2
                                    

Dimasak. Lebur, hancur, jadi  buih, kembali seperti wujud asal. Garam. Penyedap rasa. Padahal hanya asin. Tak ada istimewanya, yah lebih baik dibanding benar-benar hambar. Apa benar begitu? Padahal dia hanya air laut, bukannya kamu lebih suka minum air tawar dibanding air asin? Atau malah, kamu lebih suka makan air asin dibanding minum air asin? Omong-omong, bagaimana rasanya makan tanpa ada garam di makanan? Jika, hanya gula yang ada, manis selalu, bukannya kau suka manis? Dimana-mana, gula selalu saja disanjung. Ada wanita cantik kau akan bilang, wanita itu manis (gula). Ada hal baik, hidup ini manis (gula). Sebuah gombal bedebah, senyummu manis (gula). Tidak ada yang menyanjung garam. Garam selalu mengandung konotasi negatif. Seperti, kalimat 'dia harus merasakan pahit, asam, garam hidup' padahal garam lebih baik dibanding pahit atau asam. Memang garam punya salah apa? Jadi kita bisa sebut saja bahwa dua buah benda padat (yang labil)* ini merupakan peran utama dalam cerita ini. Pertama gula adalah protagonis, yang selalu suci, baik, normal, tidak sombong, rajin menabung, hidupnya flat , maka dari itu dia mudah darah rendah. Dan yang kedua garam adalah antagonis, yang selalu jahat, kerikil di jalan, kotor, aneh, sombong, dan tidak rajin menabung karena tidak pernah juara nabung seperti gula (harganya murah jadi gak bisa nabung), dimaki-maki, hidupnya flat juga karena sudah biasa, maka dari itu dia mudah darah tinggi. Sekarang, impas bukan? Stratifikasi kesenjangan benda mati yang sangat pas si manis dan si asin, si kaya dan si miskin. Wah, bukan jadi diferensiasi malah stratifikasi. Lain kali, jangan hanya memuji gula, ya? Sekali-kali garam pantas juga kok dipuji, agar darah tingginya tidak terlalu tinggi agar tidak terkena stroke. Tapi siap-siap saja kamu akan bergabung dalam kumpulan stratifikasi garam (orang aneh). Ah, saya lupa, saya belum jelaskan tadi, saya suka asin jadi saya pro garam dalam teks roman perdebatan ini. Yah ada alasannya, karena saya suka garam bersyarat, karena saya orang miskin, miskin afeksi, miskin kertas duniawi, miskin teknologi, miskin akal, miskin pahala (saya cinta dosa yang ada), miskin segalanya, jadi saya tim garam. Tapi, setidaknya, saya harap diluar sana ada yang mencintai garam, dan tidak membuat konotasi negatif secara terus-menerus, seperti anda yang sedang menyantap kalimat saya ini. Ah, ini baru permulaan, appetizer ringan, karena saya belum memberi santapan lain, untuk memperjelas peran. Doakan saja (jika anda bukan atheis), saya segera meracik santapan selanjutnya, tapi sebelumnya saya ingin menyelesaikan ujian duniawi dulu, untuk mencapai mimpi duniawi saya. Terima kasih.

SampulWhere stories live. Discover now