Unsteady 35

Mulai dari awal
                                    

"Kamu gak dapat emang?"

"Di terkam Eca semua tadi. Aku kalau cepat sih."

Mereka berjalan ke dapur, Ares meletakkan tempat makan berbentuk persegi itu di atas meja dan berjalan ke kamar mandi.

"Aku cicip ya?"

"Iya." Ares berjalan ke luar dari kamar mandi. "Cicip doang kan?"

"Kalau keterusan gimana?" Eza membuka kulkas dan mengambil botol minum. "Gak papa kan?"

Ares tertawa kecil, memasuki kamar mandi.

***

Jam menunjukkan pukul 11 malam. Laki-laki itu mendorong pelan pintu berwarna putih itu agar tidak menganggu seseorang yang tengah beristirahat. Ares berdiri sejenak di depan tempat tidur Aga, laki-laki itu menarik napas dalam-dalam, bergerak memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket biru dongkernya. Diperhatikannya selang infus itu, beberapa lebam di wajahnya dan tubuh adiknya yang semakin kurus.

Mereka memang tidak sedarah, tetapi untuk menyandang predikat saudara tidak perlu berada pada kandungan yang sama.

Ares merasa perlu bertanggung jawab atas lalainya ia mengawasi Aga. Ia menghela napas, melangkahkan kakinya ke sofa dan menyandarkan kepalanya pada kepala sofa itu.

Ares ingat bagaimana dokter berkata bahwa ternyata darah Aga sudah tercemar oleh narkoba dan merusak beberapa organ tubuhnya, seperti hati. Dan mengetahui fakta itu, ingin sekali ia meneriaki dirinya bahwa ia adalah seorang kakak yang sama sekali tidak bisa menjaga adiknya.

Entah sadar atau tidak, laki-laki itu perlahan menutup matanya. Mengisirahatkan tubuhnya yang telah di landa lelah seharian; lagi pula mungkin bukan tubuhnya yang lelah. Tetapi hatinya.

***

Mungkin benar, Aira tidak paham semuanya. Tidak paham bagaimana perasaan Ares ketika kata-kata keluar dari mulutnya. Yang Aira pahami, Ares mengalami jalan hidup yang cukup sulit.

"Aira pulang sore ya Pa, atau mungkin agak malem."

Setelah mendengar jawaban Papanya, Aira memasukkan ponselnya ke dalam saku rok abu-abunya. Pertengkaran mereka kemarin seolah membuat Aira bingung harus bagaimana. Hingga keesokan harinya, setelah pulang sekolah, Aira mencoba mengerti laki-laki itu.

Maka, di sinilah dia sekarang. Berdiri di depan ruang inap Aga dengan mengintip-intip ruangan itu melalui lubang pintu.

Tadi Eza bilang, Ares sedang menjaga Aga di rumah sakit.

Aira menggigit kukunya, lalu mengangkat tangannya untuk mengetuk pintu. Namun ia menurunkan tangannya, bimbang.

Aira menggeram, ingin sekali ia menunjuang pintu itu dan duduk di samping Ares. Karena merasa ragu, Aira membalikkan badannya, membelakangi pintu. Berniat melangkahkan kakinya, namun ia hanya diam.

"Argh, kan!" rutuknya dengan kesal dan membalikkan badannya namun sedetik kemudian dia melotot sekaligus kaget disaat yang bersamaan.

Di depannya, Ares tengah bersandar pada daun pintu sambil bersedekap dada dengan tatapan mata tajamnya. Laki-laki itu mengangkat sebelah alisnya, bibir tipisnya membentuk garis datar. Ekspresinya sama seperti biasa, tenang.

"Eh?" Aira melihat ke arah lain, tidak sanggup ketika tatapan Ares menembus matanya. Tangan kanannya menggaruk rambutnya yang tidak gatal. "Gue bawa, hm, martabak."

"Oh."

"Hm, Aga udah baik kan?"

Ares mengangguk. "Udah. Lo ngapain disini?"

"Gue mau jenguk abangnya Aga hehehe." Aira menyengir sambil menggerakkan badannya.

Ares menatapnya datar. "Abangnya Aga gak sakit."

Kenapa percakapan ini membuat Aira canggung setengah mati sih? Dan mengapa pula Ares jadi datar. Bukannya laki-laki itu terkadang suka melawani candaannya?

Aira menghela napas.

Ares menarik tali tas Aira, masuk ke dalam ruang inap Aga. "Masuk."

Senyum kecil terbit di wajah Aira melihat sikap Ares. Buru-buru ia melangkahkan kaki untuk masuk dan tak lupa menutup pintu. Di lihatnya sejenak Aga tengah memainkan handphonenya di kasur, memandang Aira dengan malas.

"Gue gak kenal sama lo." Aga berkata sinis. "Jadi lo gak perlu jenguk gue."

Aira memutar bola matanya lambat-lambat, seolah mengejek. "Gue jenguk Abang lo. Bukan jenguk elo. Kenal juga enggak. Iuh."

"Cabut gak lo?!" Aga melotot.

"Et, gue tabok tuh perut yang baru di jahit. Mau lo?!" tanya Aira dengan nada menyentak.

"Eh anjir, lo nyolot."

"Apa lo?!"

"Diem gak lo?"

Ares menghela napas. Perpaduan yang tepat. Jiwa-jiwa yang suka membuat orang marah kini berkumpul. Menciptakan badai di ruangan yang dingin itu.

"Ga," Ares memperingati. "jangan berantem."

Merasa di bela. Aira mengulurkan lidahnya. Membuat Ares mengusap wajah Aira dengan telapak tangannya.

"Jangan buat onar." Peringat Ares.

Aga melirik kedua manusia itu. Lalu menutup matanya sambil menghela napas. Ia sepertinya butuh tidur, belum lagi efek obat itu membuatnya mengantuk.

Aira duduk di sebelah Ares yang tengah duduk di sofa. Dengan hati yang gelisah atas perkataannya semalam, di telannya bulat-bulat harga dirinya. Aira jarang mengungkapkan kata maaf dengan serius.

Perempuan itu mengulurkan tangannya di depan Ares. "Gue minta maaf, Ares. Semalem mulut gue gak ada rem. Gue Cuma mengungkapkan apa yang ada di otak gue aja. Gak bermaksud menyinggung lo. Soalnya juga gue sebenarnya khawatir, gue gak suka Aga terus maki-maki lo. Apa pun itu, maafin gue. Gue janji gak akan sembarangan ngomong lagi."

Ares menyipitkan matanya; Kenapa sih perempuan ini?

"Maafin gue." Ulangnya sekali lagi. Kali ini berani menatap Ares dengan mata berair.

Tidak ada jawaban. Aira hendak membuka mulutnya lagi untuk menjelaskan agar Ares paham bahwa ia tidak bermaksud menyinggung laki-laki itu. Namun ia mengurungkan niatnya ketika tangan Ares terangkat, mengusap rambutnya dengan helaan napas berat. Perlahan tangannya menyelipkan anak rambut yang menutupi mata gadis itu ke belakang telinganya.

"Gue sayang sama lo, Ra."

Maka detik itu juga, Aira langsung menubruk tubuh Ares. Menenggelemkan kepalanya dengan manja. Menghirup aroma maskulin dari laki-laki itu.

Ucapannya sederhana namun baginya artinya begitu dalam.

***

CIAAA SPAM KOMEN YUKK BIAR SEMANGAT NEXT CERITANYA

Unsteady Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang