9,4 - river flows in you

Mulai dari awal
                                    

"Kenapa nggak sempat ada apa-apa?" kejar Sammy.

Aisya mengangkat bahu lagi, "Nggak tahu. Mungkin dia ilfeel di tengah perjalanan? Atau nemu yang lebih dari aku? Atau...ya gimana ya, Sam. It's life. Everything happens. Jadi aku nggak bisa berbuat banyak."

"Kenapa nggak lo aja yang ngomong duluan?"

Aisya menekan satu tuts rendah, "Ngomong apa? Aku aja nggak yakin sama situasi kami waktu itu. Jangan-jangan cuma aku aja yang nganggep gitu. Kan nggak lucu."

"Maybe he didn't deserve you after all."

"Maybe, but maybe I didn't try hard enough."

Sammy terdiam lagi.

Aisya turun dari kursi, lalu merebahkan tubuh ke sofa. Sammy harus memutar tubuhnya agar bisa berhadapan dengan perempuan itu.

"Tapi lo ada perasaan sama dia kan, Sya?"

"I did, tapi ya udahlah ya, udah lama juga kejadiannya," komentar Aisya pelan, "Lagipula aku nggak mau bikin hubungan Dylan sama dia makin kacau."

Satu alis Sammy terangkat.

"Dia temen SMP Dylan," lanjut Aisya seolah menyadari pertanyaan yang muncul di benak Sammy seiring dengan terangkatnya alis laki-laki itu.

Bibir Sammy membulat.

"Jadi kamu sama mantanmu putus kenapa?" kali ini giliran Aisya yang melontarkan pertanyaan. Entah sebagai etika agar bukan hanya Sammy yang mendengarkan, atau ia hanya iseng supaya pembicaraan itu beralih topik, atau benar-benar ingin tahu.

"LDR? Orang ketiga? Restu orang tua? Beda keyakinan? Udah nggak cocok? Bosen?"

Sammy tersenyum tipis.

"Oh. Lebih rumit dari sekadar itu ya?" Aisya langsung menyimpulkan.

"Lagu lo bagus. Gue suka," ujar Sammy membelokkan percakapan dan mengutarakan pujiannya. Dua manusia itu saling melemparkan topik, masing-masing tak ingin membicarakan mengenai sejarah—kisah yang sudah lalu.

Aisya terkekeh. "Kata orang sih, karya seni bakal terasa lebih nyata kalau dibikin pas lagi sedih-sedihnya, hahaha."

"Sepakat."

"Jadi.. Gimana? Kamu nggak apa-apa, aku join band?" tanya Aisya.

Sammy tersenyum.

"Trims."

"Guelah yang harusnya bilang makasih. Padahal lo harusnya fokus sama bisnis toko kue, bukan malah ngikut kita ke lomba ginian," Sammy menggaruk tengkuknya yang kemungkinan besar tak gatal.

Aisya nyengir. "I'd do anything for Dylan."

"Lucky to be Dylan."

Aisya menoleh. Sammy mengangkat bahunya, "Gue anak tunggal. Ada sih, adek dari bokap gue yang baru, tapi dia masih kecil. Namanya Aji."

"Kamu nggak sayang sama dia?"

"Ya sayanglah, Sya. Adek gue," sambar Sammy sebelum Aisya salah paham. Gadis itu mengerutkan alis. "Terus tadi kenapa bilang Dylan beruntung? Kamu kan juga punya Aji."

Alih-alih menjawab keingintahuan Aisya, Sammy justru melemparkan senyum tipis. Aisya makin heran dengan jawaban tersebut. Tapi lalu ia tak ambil pusing dan segera turun dari kursi piano.

"Mau puding susu nggak, Sam?"

"Bikinan lo?"

"Iya."

ROSYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang