9,0 - work work work

402 92 35
                                    

LEO tahu betul kalau dia bersikap super menyebalkan kemarin, pada Sammy, pada teman-teman bandnya. Pembelaan macam apapun sebenarnya tidak bisa membenarkan perilakunya. Meskipun isi kepalanya sedang ricuh tentang Calista; hubungan yang makin ke sini makin dingin dan tidak berarah. Sebelum ini, setiap Leo mengalami masalah dengan Calista, ia menghadapi dengan tenang. Mereka bukan remaja tujuh belas tahun yang meledak-ledak, semua bisa dibicarakan baik-baik. Masalahnya, Leo saat ini tidak tahu apakah Calista masih memiliki pemikiran yang sama dengan Calista satu tahun lalu.

Apalagi, Calista menemukan mimpi barunya dan Leo tidak ingin memecah jalan lurus menjadi dua arah.

"Pak Leo?" sebuah panggilan membuat Leo tersentak dan menjatuhkan bolpoin yang ia pegang.

Leo mendongak, menatap seorang gadis yang juga menatapnya bingung. "Maaf, Pak. Saya ngagetin ya?"

"Oh, nggak kok. Saya yang ngelamun. Ada apa, Nin?" tanya Leo setelah mengambil bolpoin.

Nina, perempuan berkulit langsat itu tersenyum, "Rapat antar divisinya sudah siap, Pak. Saya disuruh Bu Kaia dari divisi admin buat manggil Pak Leo."

"Oh, iya. Sori," Leo bangkit dari duduknya, menyambar map dan meninggalkan kubikel setelah berterima kasih pada Nina, rekan kerja satu kubikelnya.

Leo berdecak dalam hati. Jangan sampai persoalannya dengan Calista mempengaruhi kinerjanya di kantor. Apalagi kantor sedang ada kegiatan tahunan food truck festival dan itu artinya, konsentrasi Leo harusnya tidak terpecah.

* * *

Gerimis.

Padahal langit cerah. Sammy baru saja mengangkat jemuran, dan kini sedang duduk di beranda mengamati jalanan yang perlahan menjadi basah. Dylan benar. Sudah dua tahun, dan tidak seharusnya Sammy berharap banyak hal dari Iris. Gadis itu sudah melupakan masa lalu dan hidup dengan baik. Tapi meski begitu, Sammy sedikit merasa tidak adil melihat keadaan Iris saat ini; baik-baik saja, tenang dan bersikap seolah tak ada yang pernah terjalin antara ia dan Sammy.

Ponsel Sammy berbunyi. Sempat mengerutkan kening, pemuda itu tetap mengangkat panggilan masuk tersebut.

"Halo?"

"Sam? Di mana?"

Sammy menjauhkan ponselnya sedikit, mengecek ID di layar sekali lagi. "Calista? Di tempat guelah. Di mana lagi.."

"Ada waktu nggak? Gue pengin ngobrol sama lo," kata Calista terus terang.

Sammy menarik napas. "Duh, Calista. Kalau lo senggang mendingan lo nelepon pacar lo deh. Kayaknya dia lebih perlu diajak ngobrol daripada gue."

"Yang mau gue bahas juga dia, Sam. Lo kan temennya. Lo tahu nggak, Leo lagi marah sama gue ya?" tanya Calista.

Sammy mengangkat bahu. "Ya nggak tau. Emangnya lo ngerasa ngelakuin sesuatu yang bikin dia marah, gitu?"

Pertanyaan balik yang diucapkan Sammy membuat Calista mendesis. "Mana gue tau, Sam. Dia susah dihubungin belakangan ini. Telepon gue nggak diangkat, SMS gue dicuekin. Chat gue nggak dibaca. Gue bingung dong.."

Sammy menggumam.

"Gue tahu, gue emang lagi sibuk banget dan beberapa hari yang lalu sampai sempat nggak ngabarin dia sama sekali. Tapi ya lo taulah, Sam. Gue sumpah lagi repot. Program gue dipindah, produser gue ganti dan gue harus mondar-mandir nyari bahan yang nggak ada habisnya. Belum lagi atasan gue yang susah banget dibikin puas. Gue juga harus persiapan banyak hal.." Calista menceracau.

ROSYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang