5,2 - oh what a date

476 96 45
                                    

LEO menghentikan mobil. Rumah Calista ada di depan, hanya sekitar lima sampai tujuh meter tapi pemuda itu masih terpaku di dalam mobil. Ia melirik dasbor, di mana ada pigura kecil membingkai fotonya bersama Calista. Tidak bisa dipungkiri kalau pertanyaan Sammy mengusik benak Leo petang ini. Ia tahu Sammy tak berniat untuk membuatnya merasa gelisah, pemuda itu juga tidak kenal betul keluarga besar Calista; pertanyaan itu pasti hanyalah reflek terlontar begitu saja.

Nyatanya, Leo memang memikirkan pertanyaan itu. Ia bukan lagi remaja; yang memandang sebuah hubungan tanpa masa depan. Sudah membentang di hadapan Leo, rencana matang yang ia persiapkan. Rumah, mobil, tabungan pendidikan, tunjangan masa tua, semuanya. Tak jarang ia disebut-sebut sebagai cheapskate oleh teman-teman kantornya karena selalu memilih untuk makan di kantin kantor yang rasanya pas-pasan, dari pada ikut makan di luar bersama yang lain. Atau penolakan Leo pada setiap ajakan nongkrong atau liburan tipis-tipis.

Menurut Leo, yang ia lakukan bukan semata-mata menjadi pelit atau perhitungan. Ia hanya tidak ingin membuang-buang uang untuk hal yang tidak memberikannya manfaat untuk beberapa waktu ke depan. Leo, sosok yang penuh rencana. Perfeksionis, dan selalu tepat sasaran.

Harusnya, pernikahan sudah ada di depan mata Leo. Jika mengikuti kalender rencananya, tahun depan mestinya ia sudah melepas status lajangnya. Toh, ia bukan tidak punya calon. Sayangnya, pernikahan bukan tentang dirinya sendiri. Bukan tentang satu manusia.

Leo menghela napas, lalu menapakkan kakinya keluar dari mobil. Belum sampai depan pagar, Calista sudah muncul dengan senyum lebar. "Le!" Sapaannya merekah.

Leo memang sudah mengabari Calista kalau dia sudah dekat, mungkin gadis itu langsung keluar rumah karena mendengar suara mobil Leo.

Leo heran dengan Calista. Kenapa gadis itu suka sekali memanggilnya 'Le' padahal sebagian besar orang memanggilnya 'Yo', tapi Leo sebenarnya tidak masalah, justru ia jadi merasa seperti dipanggil oleh ibunya, yang selalu menggunakan 'Le' untuk anak laki-laki dan 'Nduk' untuk anak perempuan.

"Mau jalan ke mana kita hari ini?" tanya Calista.

"Kamu mau ke mana?"

"Kamu mau ke mana?"

"Tata sayang," potong Leo, meraih pergelangan tangan Calista. "Kan aku duluan yang nanya."

"Ke rumahmu aja," jawab Calista. "Aku mau beres-beres. Boleh?"

"No, we're having a date tonight. I'm not going to let you do some freaking house chores," kata Leo menolak ide tersebut.

Calista tersenyum, "Ya udah, nonton yuk. Mau nggak?"

"Boleh."

"Mau sama boleh tuh beda loh," Calista menyipitkan mata.

Leo merangkulkan lengannya ke pundak Calista, "Boleh, kok. Iya, aku mau." Ia baru melepaskan gadisnya itu ketika mereka harus masuk ke dalam mobil.

Calista memasang sabuk pengamannya, lalu tersenyum melihat figura yang masih ada di dasbor. Sebenarnya, Calistalah yang punya ide untuk meletakkan benda itu di sana. Menurutnya, figura itu sebagai pengingat supaya Leo tidak ugal-ugalan atau ngebut saat mengemudi; bahwa ada Calista yang menunggunya, sehingga ia tidak boleh lecet barang satu goresan pun.

"Le," panggil Calista di tengah-tengah perjalanan.

"Ya?"

Calista menggeser posisi duduknya sehingga ia tidak perlu menatap laki-laki itu tanpa terlalu banyak usaha, "Inget soal proyek broadcast jockey yang aku ceritain bulan lalu nggak?"

ROSYWhere stories live. Discover now