"Berisik."

"Ya kan, aku mencoba menghibur kamu lho, mas Ares." Kata Aira dengan gemas.

"Apasih," Ares menoleh dengan tidak senang. "Gak usah menghibur gue."

"Apa perlu gue nari tiang Res? Biar mata lo melotot liat bodi sekseh gue?"

"Huh," Ares menghela napas. "Pantes aja Eza benci dia."

Menyerah, Aira akhirnya memilih diam dan menyandarkan badannya pada kursi, sedikit jahil perempuan itu menyenggol bahu Ares dengan sengaja.

"Ini ya, Res. Seandainya, gue jadi lo, gue gak akan mau menjenguk adik yang udah kurang aja sama gue."

Ares menyipitkan matanya, "Maksud lo apa ngomong kayak gitu?"

"Lo mikir dong Res, dia sama sekali gak menganggap lo ada. Dia benci sama lo," jelas Aira dengan serius. "Apa pernah dia menghargai lo sebagai kakaknya? Apa pernah dia sedikit aja peduli sama lo? Enggak kan? Kalau gue jadi lo, gue bahkan gak akan sudi lagi hanya untuk liat mukanya."

"Lo-" Ares menatapnya tajam.

"Lo merasa bersalah karena bokapnya mendonorkan jantungnya buat lo? Res, ngapain lo merasa bersalah sama dia. Yang memberikan itu kan bokapnya, bukan lo yang minta." Entah tersulut emosi karena tidak menyukai Aga, Aira menjelaskan semua pendapatnya.

Ares menatapnya dengan tatapan dalam. Lalu, Aira tertegun ketika melihat itu adalah tatapan terluka.

"Pernah gak sih, lo mandang sesuatu itu gak melihat yang terjadi aja? Pernah gak sih lo mikirin gimana perasaan orang lain? Pernah gak sih lo mikir apa dampaknya bagi dia?" Pembawaan Ares yang tenang entah mengapa seolah meredam kemarahan yang begitu dalam. Laki-laki itu menatap dalam Aira selama beberapa detik, kemudian berdiri dari tempat duduknya.

"Nyatanya, lo gak pernah mempertanyakan itu, karena lo gak peduli. Lo cuma peduli sama diri lo sendiri. Ucapan lo tadi buat gue tau seberapa egoisnya lo sebagai manusia."

Aira berkedip beberapa kali, tidak menyangka bahwa Ares terlihat marah. Maka ketika ia membuka mulutnya untuk menjelaskan maksudnya, Ares sudah berjalan melewatinya dengan langkah yang membawanya pergi.

Meninggalkan Aira yang tertunduk. Ia berusaha mengerti Ares sebagaimana laki-laki itu mengerti dirinya di saat dirinya berada dalam kesedihan. Sekali saja ia ingin mengerti Ares.

Tepat satu air mata itu jatuh, perempuan itu langsung mengelapnya dengan punggung tangan. "Kenapa aku selalu buat kacau sih?"

***

Laki-laki itu keluar dari musholla sambil mengusap wajahnya. Pikirannya sudah sedikit tenang setelah melaksanakan sholat. Merasakan getaran pada sakunya, Ares merogoh sakunya, melihat banyak notifikasi pesan dan panggilan.

Entah kenapa Ares tidak berniat untuk membalasnya atau membuka pesan itu, laki-laki itu mematikan ponselnya dan memasukkannya ke dalam saku celananya.

Dia melangkahkan kakinya menuju kantin rumah sakit, Ares baru ingat bahwa sejak tadi siang belum ada sedikitpun laki-laki itu makan. Pantas saja tubuhnya lemas.

Di kantin rumah sakit, ia memesan empat kebab, kebetulan ia benar-benar lapar. Dan... Aira juga belum makan. Selagi ia menunggu, seorang laki-laki tengah berdiri disampingnya dengan jaket hitam. Salah satu tangannya memegang handphone yang di tempel di sisi kanan telinganya.

"Lucu aja sih, ada juga yang jenguk dia."

Awalnya Ares tidak tertarik.

"Cewek sih. Mainan dia kali, cantik juga." Laki-laki itu tertawa. "Katanya sih dia Cuma punya abang yang umurnya gak beda jauh sama dia. Ya gue sih bodo amat si Aga punya siapa. Yang jelas, gue senang dia sekarat."

Ares jelas tidak tuli. Maka semakin tajam ia mendengarkan.

"Pantes aja dia gak beres. Keluarganya aja juga gak ada yang peduli sama dia. Gue gak habis pikir sama si Aga,"

Penjual itu menyerahkan pesanan Ares, buru-buru Ares membayar. Bersamaan dengan itu laki-laki itu juga menerima pesanannya. Maka ketika laki-laki itu berjalan, Ares mengikutinya dari belakang.

Entah mengapa keyakinannya berkata kuat, bahwa laki-laki ini merupakan seseorang yang berhubungan dengan Aga. Satu gerakan refleks, Ares mendorongnya ke dinding, membuat laki-laki itu terkejut.

"Eh gila ya lo-"

"Lo ada hubungan apa sama Aga?" tanya Ares dengan dingin. Tatapan matanya mematikan.

"Lo siapa?" laki-laki itu menyipitkan matanya, menyentak Ares dengan mendorongnya. "Ada urusan apa lo sama Aga?"

Atas kemarahan yang berkuasa dalam tubuhnya dan sikap tenangnya yang tiba-tiba menghilang. Ares merasa kalap.

***

Aira hampir saja terlelap dalam heningnya yang mengukung dirinya. Perempuan itu mengusap wajahnya beberapa kali. Tiga jam ia menunggu di depan ruangan Aga dan laki-laki itu tidak kembali. Membuat dirinya merasa bersalah.

Sudah hampir jam 9 dan Ares tidak kembali, Aira mengusap tangannya, perutnya lapar dan tubuhnya entah mengapa merasa lemas. Mungkin karena sejak tadi belum ada makan. Tadi sebenarnya ia tadi siang sempat pulang dan mengganti pakaiannya kemudian kembali ke rumah sakit menemani Ares.

Aira berdiri, sekali lagi ia menoleh ke arah dimana Ares melangkahkan kakinya. Lalu pergi meninggalkan tempat duduk itu.

Baru dua langkah, sosok yang ia tunggu kini muncul.

Dengan wajah penuh lebam sudut bibir berdarah. Ares berhenti di depannya selama dua detik.

"Res, gue-"

"Gue udah pesan taksi," katanya dengan dingin. "Lo bisa pulang."

"Res," panggil Aira seolah membujuk. Menarik tangannya dengan pelan. Tidak sampai satu detik Ares memandang Aira, laki-laki itu melepas tangannya yang digenggam perempuan itu.

Kemudian laki-laki itu berjalan dengan mudahnya, membuka pintu ruangan itu dan meninggalkan suara gedebam pelan, tidak lupa juga, meninggalkan Aira yang terpaku.

***

NEXT?

Spam komen yuk biar aku makin semangat ❤

Jangan lupa follow ig aku ya ; blackrose.story

Buat kalian yang suka sama novel Protect, yuk beli. Sekarang sudah tersedia di gramedia dan toko buku online, salah satunya di bukabuku.com dan di tokotmindo! Yuk beli! Buat yang udah beli komen yak ❤

Unsteady Where stories live. Discover now