S A T U

18.4K 921 6
                                    

***

Sabtu, 07 April 2018, 20.00 WIB

Kirana menatap jam di pergelangan tangan, lalu menghela napas panjang. Sudah jam delapan malam, itu berarti sudah satu jam berlalu sejak acara reuni dimulai. Namun, sosok yang ia tunggu belum juga terlihat. Apa dia benar-benar datang? Tanyanya gelisah.

Kirana melirik Mika, sahabatnya yang sedang terlibat perdebatan seru dengan Rian, teman sekelas mereka yang dulu ditaksir Mika—tapi selalu disangkalnya. Mereka sedang berdebat tentang masalah politik, kandidat terkuat yang akan menduduki kursi presiden periode mendatang. Keduanya tidak mau mengalah membeberkan keunggulan figur yang mereka jagokan. Kirana berdecak mendengar perdebatan itu. Pemilu masih tahun depan, tapi suasana panasnya sudah dimulai sekarang, bahkan di acara reuni yang seharusnya diisi obrolan ringan atau cerita masa lalu untuk bernostalgia.

Tak tahan dengan perdebatan yang makin memanas—karena kedua pihak berbicara dengan intonasi mengebu-gebu—Kirana menyikut pelan pinggang Mika. Wanita itu menoleh dan  melotot kepada Kirana.

"Apa?" tanyanya dengan mata melotot.

"Bisa nggak sih kalian berhenti? Udah satu jam yang dibahas politik mulu. Nggak capek emang? Aku sekadar ngingetin, ini lagi reunian, lho, bukan forum debat presiden!" sungut Kirana, membuat Rian garuk kepala karena malu.

"Habis dia yang mulai duluan," tuduh Mika, tidak rela disalahkan.

"Siapa suruh nanggepin?" balas Rian tak mau kalah.

Kirana memutar bola matanya—lagi. Heran dengan kelakuan kedua temannya itu. Sejak dulu suka sekali berdebat. Kayak kucing dan tikus. Padahal memendam perasaan suka di hati. Begitulah cinta kalau tertutup gengsi. Niat hati ingin saling puji, yang terjadi malah lempar caci-maki.

Menyadari perdebatan itu tidak akan berhenti, Kirana pun memilih untuk beranjak pergi.  Menunggu sudah membuat hatinya gelisah, dan ia tidak butuh mendengar debat kusir agar makin menderita.

Kirana menghampiri meja panjang yang menyajikan minuman dalam gelas-gelas berkaki tinggi serta kue-kue kering di dalam piring ceper. Kirana mengambil satu gelas limun, lalu menghabiskannya dalam sekali tegukan. Saat itulah—tanpa sengaja—pandangannya bertemu dengan sepasang mata menatap ke arahnya. Seorang pria.

Kirana meletakkan gelas kosong di atas meja, dan menyadari mengerling kepadanya. Senyum menggoda terbit di bibir pria tersebut. Gaya berdirinya—tegap dengan satu tangan masuk ke saku celana—terlihat penuh percaya diri. Kirana mengumpat dalam hati.  Dasar Playboy!

Kirana sama sekali tidak mengenal pria itu. Mungkin senior atau juniornya dulu. Ah sudahlah. Ia tidak perlu menanggapi godaan pria tersebut. Tujuannya ke sini bukan untuk flirting dengan seorang pria. Ia hanya ingin bertemu dengan seseorang yang teramat penting baginya di masa lalu.

Tapi, sosok itu tidak terlihat, dan sepertinya memang tidak akan datang. Mungkin informasi tentang kehadiran orang yang Kirana tunggu itu hanya akal-akalan Mika untuk membujuknya datang ke acara malam ini.

Kirana berbalik. Ia melihat Mika masih asyik dengan Rian. Kembali ke sana hanya akan membuat suasana hatinya makin kacau. Akhirnya Kirana memutuskan untuk berkeliling. Mumpung ia sudah berada di sini, lebih baik ia gunakan untuk melihat-lihat perubahan gedung sekolah yang sudah sepuluh tahun tidak ia kunjungi.

Kirana pun menyelip di antara orang-orang, menuju pintu keluar. Sesampainya di luar udara dingin menggelitik kulit lengannya yang terbuka. Mala mini Kirana hanya mengenakan dress selutut tanpa lengan berwarna biru gelap. Kirana mengusap lengan, berharap hal itu sedikit memberi rasa hangat.

Kirana mengayunkan langkah, melewati jalan kecil berbatuan menuju taman yang diterangi cahaya lampu hias warna-warni. Suara musik dari dalam auditorium—tempat reuni diadakan—masih mampu ditangkap pendengarannya. Juga gelak tawa dari para undangan. Semuanya terlihat menikmati acara ini—bahagia. Tidak seperti dirinya.

Kirana berhenti. Ia mendongak, menatap langit malam yang cerah. Bintang-bintang tumpah ruah berkelap-kelip dan bulan bersinar malu-malu, seakan ikut bergembira malam ini. Perasaan itu kembali menghampiri Kirana, perasaan terasingi.

"Kamu bisa mati kedinginan di luar dengan pakaian seperti itu."
Sapaan suara berat dan dalam itu membuat kepala Kirana menoleh cepat. Mata yang sipit membulat seketika saat melihat pria yang tadi flirting kepadanya sudah berdiri beberapa langkah darinya. Pria itu mengerling dan memamerkan senyum menggoda itu lagi.

Kirana mengabaikan pria itu dan memilih untuk menjauh. Tapi,  Pria itu kembali bertanya, dan Kirana masih tetap mengunci bibirnya.

"Padahal dulu kamu sangat penakut."

Langkah Kirana terhenti seketika. Ia memutar tubuh dan menatap pria itu dengan mata menyipit.

"Kalau kamu ke sini hanya untuk menggodaku, kusarankan menyerah saja. Aku sama sekali tidak tertarik dengan pria playboy sepertimu."

Pria itu memegang dahinya, lalu terkekeh pelan. Dari balik bulu matanya yang panjang, pria itu menatap Kirana dengan pandangan geli. "Dan kamu masih sama seperti dulu. Begitu terus terang."

"Sok tahu!"

"Aku memang tahu segalanya tentangmu."

"Sayangnya aku sama sekali tidak ingin tahu secuil pun tentangmu."

"Seperti dulu juga begitu, kan?"

Kirana mengepalkan tangan. Ia sebal dengan ucapan pria itu yang selalu menyebut kata 'dulu' seakan-akan mereka saling kenal.
"Berhenti mengatakan kata-kata dulu," sentak Kirana. "Kamu tidak mengenalku. Aku pun tidak mengenalmu."

"Kamu yakin kita tidak saling mengenal?"

"Ya!" jawab Kirana tegas.

Sekali lagi pria itu tertawa kecil sambil mengusap dahi. Rambut ikal hitamnya yang mulai panjang bergerak-gerak dipermainkan angin.

"Ternyata benar. Sejak dulu aku memang tidak ada artinya bagimu. Buktinya ini, kamu sama sekali tidak mengenaliku."

Kening Kirana berkerut. Bingung dengan ucapan pria tersebut yang menurutnya ngelantur. Apa pria di hadapannya ini sedang mabuk?

"Apa maksudmu?" tanya Kirana.
Pria itu berdiri tegap dengan tangan terselip dalam saku celana. Mata gelapnya menatap Kirana intens. Senyum menggoda itu masih bertahan di bibirnya yang berbelah.

"Ini aku ... Cakrawala Biru."

Nama itu membuat mata Kirana membesar dan detak jantungnya meningkat melebihi batas normal.

Pria ini Cakrawala Biru? Bagaimana mungkin?

One Night With You [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang