#16 - Menuju 17 Tahun

3.6K 279 10
                                    


Beranjak pada kisahku di kelas 11 SMA, dimana usiaku akan menginjak 17 tahun. Itu artinya, sebentar lagi mata batin ini mungkin saja akan tertutup dengan sendirinya. Itu berarti, aku akan merasa bebas dan hidup menjadi gadis normal yg tak pernah melihat 'mereka' lagi seperti yg lainnya. Perasaan senang dan tidak sabar untuk menginjak usia 17 tahun sepertinya menyelimuti diriku saat kelas 11 SMA kala itu. Pikiranku terpaku pada "Usia 17 tahun adalah saatnya mata batin ini tertutup"

: Tahun 2014.
Saat itu aku masuk di Kelas XI Ipa 8 yg posisinya tepat berada dibawah kelas X Ipa 4, kelasku saat kelas 10 dulu. Sama-sama dekat dengan wc pria dan kali ini sangat-sangat dekat dengan kantin. Tak jarang, aroma gorengan, batagor, bakso, tercium hingga ke dalam kelasku yg membuat murid-murid tak sabar untuk segera mengakhiri belajar di kelas.

Di kelas 11 ini, lagi-lagi aku tidak tau siapa teman sebangku ku. Aku duduk dimana saja semauku. Setiap harinya, lagi-lagi aku ganti teman sebangku. Waktu itu hari Selasa, aku ingat betul ketika aku duduk sebangku dengan Tessy di barisan paling depan. Iya, seperti biasa selalu di depan karena datang selalu mepet bel. Sebelum memulai kegiatan belajar mengajar, seperti biasa kami membaca Asmaul Husna terlebih dahulu.

Waktu menunjukkan pukul 06.45 wib. Di meja guru, sudah ada ibu Hasna guru PKN sekaligus wali kelasku. Tanpa permisi, seorang anak laki-laki memakai kemeja putih dengan celana pendek tiba-tiba masuk ke dalam kelasku berlagak so cool, ia berjalan di depanku. Perawakannya tinggi, kurus, kulitnya sawo matang, rambutnya sedikit acak-acakan layaknya murid badboy usia 3 SMP. Tapi, apa yg terjadi?? ia malah tersandung oleh kakinya sendiri tepat di depanku. Ia lalu terjatuh dan terbentur ke papan tulis. Sontak saja aku hampir tertawa ngakak melihat adegan itu.

"Haa.... Eh astagfirullah" ,bisikku pada diriku sendiri.

Bu Hasna melihatku yg hampir saja ketawa ngakak sendiri. Aku baru sadar, kalau aku telah terbawa suasana oleh makhluk yg baru saja menghilang dari pandanganku setelah ia terjatuh tadi.

"Yah.. Kelepasan. Apa yg akan Bu Hasna pikirkan tentangku. Duuuhh...." ,pikiranku seketika menjadi kacau

"Kamu kenapa?" ,tanya Tessy

"Oh engga, gapapa inget kemarin si Lutfi yg mau jatoh ngejengkang wkwkwk" ,jawabku sambil tertawa terpaksa.

"Ohahahaa. Ih iya itu lawak banget si Lutfi" ,tessy pun ikut tertawa akhirnya.

Untuk menutupi rasa malu, akhirnya kami malah tertawa bersama dengan so asiknya di bangku paling depan.

Selama dikelas 11 ini, memang sih banyak sosok-sosok yg bergantian keluar masuk kelas. Bahkan sangat sering aku melihat sosok tinggi besar dan hitam legam di depan pintu kelas. Kadang-kadang, pintu kelasku itu sering menutup atau membuka dengan sendirinya dalam keadaan terbanting keras. Setauku, posisi kelas kedua dari pojok ini tidak begitu kencang anginnya. Atau malah tidak terkena angin. Justru makhluk itulah yg terkadang dengan usilnya memainkan pintu kelas. Sungguh caper sekali kau, pikirku.

Lain halnya dengan cerita-cerita sebelumnya. Di kelas 11 ini, aku sudah terbiasa menjumpai makhluk-makhluk halus. Makhluk yg sering sekali berkeliaran di dalam kelas ketika sedang belajar. Makhluk yg sering tiba-tiba muncul di depan papan tulis. Makhluk yg kadang ikut belajar. Makhluk yg kadang suka usil mengejek guruku yg sedang menjelaskan. Yaaa.... Begitulah nyatanyaa. Sebenarnya mereka tidak jauh beda dengan kita semua, hanya saja wujudnya dan alamnya yg berbeda. Perasaan takut sudah mulai memudar dalam diriku, dan yg tertinggal adalah perasaan dan sikap cuek kepada 'mereka'. "Ah sudahlah. Bodo mamat.. Kalo keliatan, Liat ya liat, kalo engga ya engga" ,begitulah aku saat itu yg sudah mulai terbiasa dengan hantu. Tak lupa juga dengan dibekali pesan ibu "Jangan menolak lagi dengan apa yg kamu lihat. Apa yg kamu lihat sudah atas seizin-Nya dan kehendak-Nya. Kalau bukan karena-Nya, kamu tidak akan melihat mereka. Jadi, jangan banyak mengeluh. Syukuri apa yg kamu miliki, termasuk kemampuanmu ini"

......

Mungkin di sini saat di kelas 11, aku memang benar-benar telah terbiasa dengan keberadaan mereka. Yg sudah menjadi pemandangan sehari-hari dan seolah mereka juga sudah menjadi bagian dari hidupku. Mendekati umurku yg ke 17 tahun, aku semakin tersadar satu hal. Apa selama ini aku kurang bersyukur ya dengan kelebihan indra yg kumiliki ini? Aku terlalu menganggap mata batin ini sebagai salah satu beban dalam hidupku, sehingga akupun malah menjadi kesusahan dalam menjalani hari. Coba deh sekarang aku rubah, bagaimana jika mulai sekarang aku ikhlaskan saja kemampuanku ini? Mungkin aku akan merasa lebih ringan dalam menjalani hari.

Tapi, bagaimana jika mata batin ini tertutup. Mungkinkah aku akan merasakan hidup seperti gadis normal lainnya? Atau aku akan merasakan kehampaan? Kenapa hampa? Kau pikir sajaaa.... Setiap waktu, hari-hariku selalu memandang 'mereka' yg ada di alam lain. Meskipun wujudnya yg mungkin memang menyeramkan, tapi penglihatan itu seperti sudah menjadi bagian dari jati diriku. Jika ini tertutup, pasti aku akan merasa kehilangan salah satu kehidupan yg biasanya aku lihat. Bukankah begitu?

Sepertinya, aku mulai sedih dengan kemungkinan-kemungkinan yg akan terjadi di usiaku yg ke 17 tahun.

1. Jika mata batin tertutup, akankah aku merasa kehilangan?
2. ‎Jika mata batin ini terus terbuka, akankah aku kuat jika penglihatan ini semakin tajam?

Jika kau menjadi aku, apa yg akan kau pilih?
Kau ingin dilahirkan kembali sebagai bayi yg tidak tau apa-apa dan tumbuh menjadi seorang gadis normal seperti yg lainnya?

Sepertinya begitu.
Jika bisa dilahirkan kembali ..........
Kau pasti tau apa keinginanku.

Tapi, coba pikirkan kembali. Apa iya aku akan berjalan mundur ke belakang berharap waktu terulang kembali sejak lahir bahkan sejak dalam kandungan? Tidak mungkin kan. Sekarang ini, usiaku akan 17 tahun. Ini tentang bagaimana caraku berpikir soal kemampuan ini, bagaimana caraku menerima kemampuan ini, dan mengikhlaskan apa yg telah Tuhan beri.

Dan seiring berjalannya waktu menuju hari ulang tahunku, penglihatan akan sosok makhluk halus bukannya semakin kabur, justru semakin menajam. Ditambah dengan kemampuan lain yg semakin peka dan mungkin baru aku sadari. Tidak ada tanda-tanda bahwa kemampuan ini akan hilang seketika.

Berawal dari masa kecil, aku hanya bisa melihat mereka, itupun kadang masih samar-samar. Semenjak SMP akupun menyadarinya bahwa mereka adalah hantu, penglihatan itu semakin jelas, dan akupun mulai berkomunikasi dengan mereka. Hingga SMA aku bisa membedakan mana aura jin yg positif dan negatif. Membedakan juga aura lingkungan serta teman-teman di sekitar. Mendapatkan gambaran-gambaran yg mungkin orang lain tak akan mengerti. Mungkin, aku sendiri juga memang belum paham. Tapi tanpa aku sadari, disisi lain aku juga ternyata mengasah kemampuanku itu dengan sendirinya.

Memikirkan dan menganalisa apa yg aku lihat dan aku rasakan, sama dengan mengupas setiap yg dilihat oleh mata batin ini. Dengan menganalisa itulah, dengan sendirinya aku memahami kemampuan mata batin ini. Menjadikan aku sebagai gadis yg berbeda dari yg lainnya. Jika kalian menyadari itu.

Kemampuan indigo yg kumiliki ini tidak sekaligus aku dapatkan semenjak aku kecil. Apa yg aku rasakan dan kemampuan yg aku miliki saat ini, semuanya adalah proses yg bertahap. Ternyata, ini bukanlah sebuah mukjizat atau kelebihan yg serta merta Tuhan berikan begitu saja tanpa adanya proses yg berjalan. Jika begitu, maka tidak akan ada hikmah dan pelajaran hidup yg bisa kupetik dari setiap kejadian dan apa yg aku lihat. Dan dari sinilah di usia yg menuju 17 tahun, pikiranku mulai terbuka tentang apa itu indigo sebenarnya. Indigo bukanlah sesuatu yg perlu dibanggakan, bukan juga sesuatu yg perlu ditutupi. Indigo itu hanya sebuah istilah, sebenarnya aku ini tetaplah manusia biasa yg memiliki kekurangan. Bahkan ini bukanlah kelebihanku, ini hanya sebuah titipan Tuhan, yg sebenarnya menyimpan amanah untuk disampaikan. Aku Mencari tau apa-apa saja arti dibalik penglihatanku ini.

.Jika memang bisa dimanfaatkan, kenapa aku harus mengeluhkan kemampuan ini?
.Jika bisa digunakan untuk berbuat baik dan memang diberikan untuk mengingatkan kepada sesama makhluk ciptaan-Nya, lalu kenapa memaksa ingin ditutup?
Inilah kesadaranku
.Kenapa aku selalu menolak dan menolak setiap kali Tuhan memperlihatkan sesuatu yg orang lain tidak lihat?
.Kenapa aku tidak pernah bersyukur bahwa yg aku lihat ini ternyata menyimpan begitu banyak pelajaran hidup?
.Bukankah segala sesuatu yg telah ditetapkan dan diciptakan tidak ada yg sia-sia
.Baiklah.. Aku tidak akan memaksa untuk ditutup lagi. Jika memang sudah diciptakan seperti ini, setidaknya aku bisa berbuat baik dengan kemampuanku ini, juga bisa memberikan hal-hal positif untuk sekitarku.

Hingga akhirnya, aku pun terbuka dengan teman-temanku. Aku memiliki teman yg baik juga mau menerimaku. Bahkan aku bertemu dengan teman-teman yg memiliki kemampuan yg sama denganku dalam satu lingkungan sekolah yg seangkatan denganku. Mereka adalah David, Raina, Wening, Yunita, Arsy, dan Vino.

Indigo Crystal 1Where stories live. Discover now