Pemuja Rahasia

3.7K 448 381
                                    

Pemuja Rahasia
by Sheila On 7

| Nora |

Gue selalu berharap gue akan selalu menjalani hidup gue tanpa sebuah rasa penyesalan. Tapi setelah waktu berjalan, ternyata setiap detik yang gue jalani setelah gue bertemu sama cowok itu menjadi sebuah penyesalan terbesar dalam hidup gue sekarang.

Gue selalu percaya bahwa sebodoh apapun hal yang kita lakukan di masa lampau, adalah hal terbaik yang bisa kita lakukan pada saat itu. Dan gue gak akan menyesali segala keputusan yang diri gue pernah ambil dulu. Tapi detik ini, gue berharap gue lebih pintar pada saat itu. Detik ini, gue berpikir bahwa mungkin, lebih baik gue mati daripada harus mengambil keputusan itu.

Karena segala penyesalan yang gue rasakan di dalam setiap hembusan nafas gue sekarang, gak akan pernah bisa gue jelaskan dengan kata kata. Selain... semuanya hancur.

Gue berdiri dari wc yang daritadi gue duduki sembari menghapus air mata gue. Lagi lagi hari ini gue mengawali hari gue dengan menangis. Dan lagi lagi gue kesel liat muka gue di kaca wastafel.

"Jelek banget sih ih." Celetuk gue kesal saat melihat mata gue yang merah dan hidung gue yang ingusan gak karuan.

Gue keluar dari kamar mandi dan mendapati playlist spotify gue memutar salah satu lagu Sheila On 7. Lagu lama yang tanpa sadar membuat gue tersenyum sendiri.

Suara petikan gitar dan dentuman dari drum di lagu ini membuat pagi gue terasa lebih cerah. Bahkan dengan mudah gue bisa menggoyangkan tubuh gue setelah lelah menangis kaya orang bego tadi di kamar mandi.

Dan gue harap, setelah hari ini, hari hari gue bisa selalu dengan mudahnya menjadi lebih cerah kaya gini.

Setelah beberapa minggu menjadi salah satu pegawai di kantor ini, gue masih aja suka lupa sama kenyataan bahwa ada satu orang yang kadang bawaannya pengen gue jorokin dari balkon pantry atas yang tepatnya terletak di lantai 15.

Sebuah suara berat seiring dengan aroma pizza yang masuk ke ruangan finance berhasil membuat gue sadar akan kehadiran cowok tinggi dengan rambut hitam yang sedikit acak acakan itu.

"Makan dulu makan duluuu!" Suara itu sontak membuat seisi ruangan gue, termasuk Bu Alice, atasan gue yang sekarang udah tersenyum lebar. Padahal biasanya mukanya udah kaya kertas dilaminating saking datarnya.

Cowok bernama Leo Ariobimo masuk ke dalam ruang kerja gue, dengan plastik berisi 4 kardus pizza hut. Gak kok, jangan ngarep dia kebaikan beliin kita pizza. Itu emang pesenan kita tadi dan dia aja yang bawa masuk.

"Biar saya bayar dulu ya Bu." Ujar gue ke arah Bu Alice yang mengacuhkan gue dan langsung berjalan ke arah Leo.

"Aduh makasih banyak loh Pak Leo, dibawain masuk." Ujar Bu Alice sok manis, sebelum Leo tersenyum lebar menunjukkan gigi rapihnya dan mengangguk sok berkarisma.
"Dengan senang hati, Ibu Alice."

Dan bukan cuma Bu Alice, semua orang di divisi gue langsung ikut merapat dan mencari perhatian Leo. Heran. Gak cewek gak cowok, semua langsung ramah aja gitu sama dia.

Gue keluar ruangan sambil menggeleng gelengkan kepala gue saking gak kuatnya ngeliat tu orang.

Okay, dia emang ganteng. Tinggi menjulang, badannya besar proporsional, kulitnya termasuk putih untuk ukuran kontraktor yang ampir setiap hari kerjaannya ke lapangan pembangunan terus, hidungnya mancung, bentuk matanya yang khas seperti almond juga menarik banget. Tapi cowok yang sadar dia ganteng itu, udah paling bikin males deh.

A Second Before Midnight (On Hold)Where stories live. Discover now