XXIII

2.9K 367 72
                                    

"Oh? Baru kali ini kau datang lebih awal."

Mike Zacharius spontan menyeletuk ketika mendapati pemimpin band mereka duduk di lounge. Pria berpotongan undercut itu lebih memilih menikmati kopi hangat pesanannya sebelum membalas. 

"Hari ini dia ujian akhir semester. Bocah itu bangun-bangun sudah berisik minta diantarkan ke sekolah, biar ada waktu buat belajar dengan teman katanya."

Bunyi kaleng jatuh pada mesin otomatis sedikit mendominasi ruangan. Si pria berkumis mengambil duduk di seberang Levi, menenggak sedikit teh hijau kalengan. 

"Eren ya," Mike menggumam. "Memangnya semalam atau hari-hari sebelumnya tidak belajar. Apa jangan-jangan tiap malam kau melakukannya dengan anak itu?"

Levi menghela. "Hange sudah mencemari otakmu ya, Mike. Tentu saja aku tidak melakukan apapun! Seleraku bukan bocah ingusan."

"Tapi kau juga mau kan, ketika anak itu sudah tumbuh besar?"

Kopi dalam cangkir habis dalam dua tenggak. Pria bersurai kehitaman enggan menjawab. Dari diamnya itu, Mike merasa sudah mendapat balasan yang sebenarnya. 

"Tenang saja. Banyak kok, di luar sana yang sudah melegalkan," ia berceletuk santai, mendengus geli. 

Levi menahan nafas. Ingin mengaku, namun harga diri terlalu tinggi. Sekarang saja rasanya sudah lebih rendah hanya dengan ledekan dari Hange. 

Selain itu, bisa-bisa ia dipecat oleh Erwin atas kasus pelecehan anak di bawah umur. 

Ia meneguk ludah, menenangkan diri. "Sudahlah, tak usah dilanjut lagi." Kursi terdorong ke belakang, menimbulkan sedikit bunyi gaduh. Levi melangkah meninggalkan ruang lounge sambil membawa tas kerjanya. 

.

.

Armin sempat mengomel ketika Eren memohon dijelaskan kembali. Padahal lima hari sudah cukup belajar untuk ujian. Bocah pirang ngambek, hilang sesaat ketika melihat Mikasa mulai menawarkan diri menjadi tenaga pengajar. 

Dengan sistem kejar setengah jam, Mikasa dan Armin bekerjasama membantu temannya yang (sedikit) bodoh itu mengingat materi seringkas-ringkasnya. 

"Perumahan kalian seram sih, ada hantu segala. Kan aku jadi lupa semua yang diajar Armin," gerutu Eren sambil menuliskan poin-poin penting di halaman buku paling belakang. 

"Apaan sih, Eren. Bentar lagi mau kelas enam juga. Masih aja percaya sama gituan," sahut Armin, masih jengkel. 

"Ih, serius! Kalian nggak dengar aku kemarin teriak? Dia tuh, hitam semua! Terus kayak ngikutin aku dari belakang!" 

"Ah macaci~?" 

Jean menyahut dari arah tempat duduknya. Seringai nakal mendadak lenyap ketika Eren meniru tatapan tajam Levi disertai gertakan gigi. Mata si bocah muka kuda mulai nampak berair. Ia mundur teratur. 

Eren kembali memusatkan perhatiannya pada materi. 

"Iya. Aku dengar. Tapi kukira cuma suara kucing berantem pertanda mau kawin. Jadi ya kubiarkan saja," celetuk Mikasa sambil mengamati tangan Eren yang sibuk menulis. 

"Sudah. Ayo ingat-ingat lagi materinya, biar nanti ujian nggak berisik nanya-nanya. Lima belas menit lagi masuk," Armin menyela. Telunjuk mungil menunjuk pada jam dinding di atas papan tulis. 

Inti-inti materi sudah selesai dicatat. Berikutnya Eren harus menghafal dalam lingkungan kelas yang semakin ramai dengan kedatangan anak-anak lain. 

.

.

Sabar. 

Levi sabar menunggu sampai ujian selesai. 

Routine ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang