XI

3.6K 500 77
                                    

Connie tidak henti-hentinya bersorak senang. Baginya, ini adalah ulang tahun paling berkesan. Diberi kejutan kue di sekolah—walau hanya dua tumpuk roti cokelat, lingkaran biskuit lapis, dan tancapan sebatang korek api di tengah—dan menginap di rumah sang idola.

Kapan lagi ada kesempatan seperti ini? Tahun depan belum tentu terjadi lagi.

Bahkan saat keluar dari apartemen pun, ia masih berjingkrak-jingkrak. Tangan yang telah bersentuhan dengan Levi sekali lagi sebelum pulang terus ia pamerkan.

"Eren."

Si bocah menoleh, mendapati Levi berdiri bersedekap.

"Kenapa."

Levi tidak menjawab. Ia berbalik, melangkah menuju ruang kerja. Eren mengekor dari belakang, sampai akhirnya berhenti ketika pintu terbuka.

Eren tercekat. Ingatannya memutar kembali apa yang terjadi semalam.

"Seingatku kau sudah kupesankan tak boleh masuk sini, kan. Kenapa sekarang kacau begini?"

Jantung Eren berdebar. Matanya tak bisa bertemu tatap, sebab ia yakin, kini ekspresi Levi tambah menyeramkan.

"B-be-belum.... A-aku nggak tahu."

"Beneran? Lupa apa pura-pura tidak tahu?"

Jeda sejenak. "Aku... ng-nggak tahu...."

"Hmm...."

Levi menggaet kasar tangan mungil si bocah, menariknya memasuki kamar. Pintu sengaja dikunci, sementara badan Eren terhempas di atas kasur.

Per berderit kala si pemuda menaiki tempat tidur. Di depan Eren, pelan-pelan ia membuka kancing kemejanya. Eren buru-buru menutup mata.

"Le-Le-Levi-san?!! Kenapa tiba-tiba?!"

"Untuk menghukummu."

"A-aku bersihkan saja ruang kerjanya!"

"Bagaimana kalau kau saja yang "kubersihkan" bohongmu? Dengan badanku," Levi merangkak maju, jemari di ujung kaus Eren siap kapan saja untuk melepas. 

Eren merengut dengan wajah yang memanas. "Aahh! Iya iya aku bohong tadi! Aku ingat kata-kata Levi-san waktu itu!"

Gerakan terhenti, namun jari enggan beranjak dari pinggiran kaus. Kemeja putih masih melekat di tubuh dengan kancing yang dibiarkan membuka. 

Si bocah memalingkan wajah, seraya menceritakan kronologi berantakannya ruang kerja. Sesekali melirik Levi, lalu memalingkan pandangan.

"Jadi begitu. Salahkan Connie yang masih bandel walau berkali-kali kubilang. Tapi untungnya mereka cepat bosan dan beralih nonton film," Eren mengakhiri penjelasan, lalu meminta, "Karena itu, bisa tolong menyingkir, Levi-san?"

Levi diam saja, menatap fokus bocah di bawahnya. "Kenapa dari tadi kau curi-curi pandang melulu? Segitu inginnya kuserang?"

"A-apaan sih, nggak mau!" respon Eren cepat. 

"Walaupun L-san yang menyerangmu?"

"Ughh...!" Eren menutup rapat-rapat wajah yang telah semerah tomat matangnya. 

Levi terkekeh. Sesuai permintaan, ia bergerak mundur dan duduk di pinggir ranjang. "Tadinya aku minta dipijat olehmu, lho."

"Mananya bagian mau dipijat?!"

"Yah, tapi ternyata menggodamu lebih asyik. Ayo segera kita bereskan. Setelah itu aku mau berangkat kerja."

"Ukhh... jangan mempermainkanku terus dong, Levi-san!!" 

Routine ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang