0.07

1.4K 65 5
                                    

Sean menghentikkan motor hitamnya dari jarak 3 meter dekat rumah bercat abu-abu yang tampak sepi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sean menghentikkan motor hitamnya dari jarak 3 meter dekat rumah bercat abu-abu yang tampak sepi. Ia menatap sendu ke arah rumah itu. Rumah yang ia tempati sejak kecil dan terpaksa harus ia tinggalkan saat ia berumur 15 tahun. Hari ini bundanya berulang tahun, tentu saja ia ingat.

Tapi ia hanya bisa mendoakan, tidak dengan hadir di pesta yang ayahnya gelar secara besar-besaran di luar sana. Selena sudah mengirimkan ratusan spam chat agar dirinya menyusul di pesta tersebut dan menemui kedua orang tuanya. Namun, Sean tentu saja menolak hal itu. Ia masih terbayang kejadian 2 tahun lalu. Kejadian yang tidak akan pernah Sean lupakan seumur hidupnya. Ia menghela napas pelan, lalu menyalakan kembali mesin motornya.

“Den Sean!” panggil seseorang. Sean menoleh dan mendapati satpam rumahnya berlari kecil ke arahnya.

“Ya Gusti, Den Sean apa kabar?”

Sean tersenyum tipis, “Baik, Pak Iky sendiri gimana?”

“Bapak baik juga, Den. Ya Gusti, Den Sean makin kasep euy!” satpam andalan keluarga Rajendra itu tertawa kecil.

“Iya dong. Anyway, pak Iky kenapa manggil Sean?”

“Ini den, tadi dititipin non Selena.” Sean mengambil paper bag berwarna peach yang disodorkan pak Iky.

“Ternyata feeling non Selena emang gak pernah salah, tadi non Selena bilang pasti den Sean dateng kesini, ternyata bener,” Sean mengangguk pelan, lalu menepuk bahu pak Iky pelan untuk pamit.

“Makasih pak, Sean pulang dulu. Titip salam buat kakak sama bi Putri ya,”

“Siap den, sama-sama. Hati-hati di jalan, den!” Sean mengacungkan jempolnya pertanda mengiyakan ucapan pak Iky. Mau sampai kapan ia harus diam-diam menatap rumahnya sendiri dengan cara seperti ini?

Sean membawa motornya dengan kecepatan diatas rata-rata. Sisi dirinya yang terlihat seperti singa seakan bangun dan mengeluarkan segala kemarahan dalam dirinya. Ia yang dulunya benci sendirian kini harus berteman dengan kesendirian dan kesunyian. Sean yang dulu humble dengan semua orang, kini seakan membangun sebuah tembok es yang besar agar sisi rapuhnya tak dilihat orang-orang.

Shera membuka pintu kamarnya saat Bi Idah berdiri di depan kamarnya seraya membawa kotak bekal berwarna biru pastel dan tote bag putih berisi baju di dalamnya.

“Ini baju olahraga non Shera sama ini ada sandwich buat sarapan non Shera di sekolah,” Shera tersenyum manis saat bi Idah sangat paham dengan kebiasaannya yang malas sarapan pagi dengan sang ibu tiri.

“Makasih Bi Idah cantik. Saranghae banyak-banyak ke bi Idah!”

Bi Idah tertawa pelan, “Nado, non Shera,” Shera terkejut di tempatnya, sejak kapan bi Idah bisa bahasa Korea?

SEAN : ICE PRINCE [TAHAP REVISI TOTAL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang