#5. Hangat

41 15 4
                                    

Entah bagaimana, aku tak tau lagi ingin berkata apa. Angin, serasa benar-benar menjadi perwakilan atas do'a kami yang sampai pada Tuhan, terima kasih. Aku senang, senang teramat sekali, karena hari, malam ini, sungguh luar biasa. Sangat luar biasa! Sulit ingin kuucap lebih panjang, ataupun digambarkan dalam bentuk apapun. Lihat, mereka merekah senyumnya, aku hampir menitik, pelupuk mataku panas, aku bahagia melihatmu datang kembali, dan memang hadirmu di sini bagai candu tersendiri bagi mereka—juga teruntuk diriku.

Kak Za, aku rindu ... Aku melirih, ingin rasanya bertukar posisi dengan Lili yang begitu tiba langsung berlari memelukmu, erat, erat ... sekali, dan aku juga ingin, tapi tak bisa, malu. Entah seberapa besar bahagia mereka hanya dengan melihat kedatanganmu, hirau akan bungkusan besar yang kau bawa, seakan lupa kalau perut-perut kecil itu sedari pagi meronta lapar. Aku terkikik geli. Langka sekali.

Lagi-lagi aku tertawa. Lihat, Lili ingin menjajah semuanya, memelukmu dan terus menggelanyut dalam gendonganmu , senyumu sudah menjawab dan kamu langsung mengangkatnya tinggi seiring gelaknya tawa Lili yang pinggangnya kau gelitiki, sungguh mengemaskan. Kalian manis sekali dan akan selalu begitu, juga di sini aku, yang kagum padamu, berjalan mendekat dengan senyum terbaik berbuah tanganmu yang tadi sempat membelai singkat puncakku. Aku rindu kamu, Kak.

"Kak Ija hilang ke mana aja?" tadi, Lili bertanya begitu, yang sembari menatapmu penuh, menunggu jawaban pasti.

"Kakak nggak ke mana-mana, cuma lagi sedikit sibuk aja, ada kegiatan yang perlu diselesaikan. Kenapa? Kalian kangen kakak?" katamu, lembut, tertawa renyah. Lili menganguk dan memelukmu lagi sebentar.

Lili, kepalanya melonggok cepat, celingukan, mencari seseorang. "Kak Cipa." aku menganggukan kepala, "Bang Alan mana? Kata dia Kak Ija ilang dibawa alien ..." Lili protes, rautnya manyun. Memang benar kalau Alan pernah bilang begitu, yang jelas saja membuatnya mencemberut, ngambek. "Tapi ini kok ada?" Lili menunjuk, tepat di depan wajahmu. Kamu kaget dan reflek memundurkan kepala, lagi-lagi aku tersenyum geli, mungkin bila dilihat dari ekspresi wajahmu, dalam hati kamu sedang bicara; "Hampir aja kecolok ..."

Aku tergelitik mendengarnya, Lili, ada-ada saja.

"Hahaha, enggak, bohong itu, mana ada kakak dibawa alien." katamu membenarkan, menggeleng, lalu ikut celingukan. "Tapi, iya, ngomong-ngomong Alan sama Riyannya mana? Kok nggak ada?"

Aku langsung mengarah padamu, karena dari matamu itu seakan mewajibkan akulah yang harus menjawab. "Belum pulang, biasanya juga gitu. Udah ada seminggu lebih ini, semenjak kakak nggak datang. Katanya mereka mau ngamen lebih lama, siapatau ada ibu-ibu yang membutuhkan jasa mereka sewaktu mereka mampir di pasar, lumayan upahnya. Gitu kata Alan," aku menjelaskan padamu, semuanya.

"Tapi ini udah hampir larut malam, masuk jam sebelas lho, masa iya mereka belum pulang."

"Iya, Kak. Aku kurang tau juga, mereka memang nggak pasti jam pulangnya," aku menunduk, merasa sedikit bersalah karena akulah di sini yang paling tua, secara tak langung aku didaulat sebagai orang yang harusnya bisa mengayomi mereka, tapi aku sudah berusaha, setidaknya aku sudah bilang pada mereka berdua untuk tidak pulang terlalu larut. Tapi mau bagaimana lagi, Alan dan Riyan, sudah kuhafal mati bandelnya.

"Ya udah, kita tunggu sebentar lagi, ya, kalau sampe jam sebelas mereka belum sampai, kakak cari mereka."

"Lili ikut!" Lili mengacung.

Kamu langsung menghadap Lili yang wajahnya mengharap, "Udah malam, capek nanti Lili," kamu mengusap punggungnya, "Lili tidur aja, ya."

"Lili nggak kecapean kok," Lili menggeleng, "Kan Lili digendong Kak Ija." dan hasilnya, kamu melongo, Lili cerdas.

"Syifa ikut juga, ya, Kak?"

"Iya ..." kamu membagi pandang ke anak yang lain, "kalian tidur aja, jangan ikut juga. Itu, makanan yang kakak bawa jangan dianggurin, kalian makan dulu baru tidur, bagi-bagi juga buat yang lain,"

Cepat, mereka langsung teringat dan langsung bubar jalan, berebut memilih tempat ternyaman masing-masing, dengan berbekal makanan di tangan.

***

Ya, bagai menunggu hujan pada langit yang sedang terik, sama saja sulit. Begitu juga menunggu Alan dan Riyan, tak akan jelas; bagai menunggu tikus ingin terbang untuk menyebrangi lautan.

Sayangnya, bayanganku tak sampai kepadamu. Kamu gelisah, tampak rasa kekhawatiran yang kuat padamu akan keadaan Alan dan Riyan saat ini, yang aku sendiri bisa menjamin, pasti akan berbanding terbalik. Tapi satu yang aku tau, kamu begitu tulus menyayangi kami, dan aku merasakan itu.

"Kita berangkat cari mereka sekarang," ajakmu, melangkah lebih dulu, bersamakan Lili yang menetap dalam gendonganmu, di punggung belakang.

"Ayo. Kak Cipa jalannya jangan lama ... Nanti ketinggalan."

Aku langsung melirik Lili dari belakang, sewot, sudah pandai membuat orang jadi kesal dia sekarang, atau bakatnya saja yang baru muncul. Lili tertawa, kamu juga.

Kamu lanjut melangkah dan aku turut mengekor. Tak mau berpaling dari kagumku padamu.

Menuju ke tengah kota, mengusap setitik letih yang ada pada kening. Dan sekarang, sudah hampir satu jam lamanya kita berkeliling namun Alan juga Riyan belum ketemu, kakiku mulai berkenalan dengan lelah, tak biasanya seperti ini biarpun keseharianku dihabiskan di jalanan yang terik. Ini, kamu seperti belum ingin beristirahat, sekedar untuk menurunkan sejenak Lili yang ada di punggungmu, aku tau, itu pasti melelahkan.

"Kak Ija capek?" kata Lili, benar sekali mewakiliku.

Kamu tersenyum menoleh, "Hah, iya, sedikit. Kenapa, Lili capek?

Lili mengangguk-angguk. "Iya, Kak. Lili capek ngeliatin Kak Ija sama kak Cipa kecapean."

Aku sigap mendongak, tapi kamu malah tertawa menanggapinya. Kamu berjongkok untuk menurunkan Lili dan langsung duduk bersandarkan rolling dor sebuah toko, yang kutau kalau pada siang hari toko ini buka adalah sebuah toko donat manis berwarna-warni. Kadang, aku ingin mencicipinya biarpun hanya sekali.

"Sebenernya mereka pada ke mana?" gumamu pelan, mengeluh dalam hembusan panjang. Kamu menatap Lili yang mengerjap, mulai mengantuk. "Lili ngantuk?"

"Iya ..."

Dan kemudian padaku, kamu berkata lembut. "Syifa ... bawa Lili pulang, ya, ini udah makin malam. Kasihan temen-temen yang lain di sana kalo nggak ada kamu, pada nungguin."

Lili membuka matanya, protes. "Lili mau nemenin kak Ija ..."

"Enggak, kalian pulang aja, biar kakak yang cari bang Alan sama Riyan." Kamu mengusap puncak Lili yang mencemberut, "Lili nurut, ya, pulang sama kak Syifa. Kakak nyarinya nggak bakalan lama, janji." Kamu menyodorkan jari kelingking, yang dilihat Lili, lalu menatap matamu.

"Janji?" kamu mengangguk. Aku tersenyum melihat kalian.

≠≠

Aihhh, makin aneh super amburadul dah😕

Gimana coba, K-ZA jadi gini🙄😪

Langsung post aja deh ya😉 Dan huy, cerita gua yang lain ada, baca juga ngapa, diem-diem bae.

Udah ah, baca aja, komen sama maki-maki sekalian😂

Arii Trias, yang pas update lagi bersin😋

KZA (TAMAT)जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें