#4. Merindu

60 13 8
                                    


Aku sadar kalau kami memang anak kardus yang lusuh dan kumal, yang bisa menetap di bawah kolong jembatan saja harusnya sudah bersyukur dan jangan mengeluh lagi, terlebih bisa akrab dengan lalat, biarpun aku tau saat lalat-lalat itu hinggap, mungkin mereka sedang mencibir, ”Dasar manusia bau! Tapi kami suka, tetaplah seperti itu.”

Jangan ikut tertawa.

Ya, mungkin fikiranku sedang kacau, berkata seperti itu serasa diriku sendiri seperti mereka, lalat. Bau, tak tau malu tapi masih ingin berbaur. Lain dengan kalian, yang wangi, bersih, dan kadang juga suka bergerombol sama seperti kami, apa kalian lalat kelas elite? Benar, kalian memang lalat, tapi yang mengibas bubar jalan saat kami datang. Dasar lalat tak tau malu.

”Kak, kak Cipa.”

”Kak Cipa!”

Aku tertegun. Menunduk ke bawah, mendapati Lili tengah menarik-narik lengan kananku.

”Kenapa Lili?” tanyaku seraya mengusap puncaknya.

”Kakak ngapain?”

Aku terdiam sejenak, menatap lembut padanya. ”Enggak kenapa-kenapa, kok,” ya ampun ... Apa baru saja diriku kembali merasa iri? Aku ini kenapa?

Aku menggandeng tangannya, mengajak Lili menepi pada lembutnya kardus—bagi kami. ”Sini, kita duduk di sini. Itu lagi gerimis, banyak air hujan, nanti Lili bisa demam.”

”He'em, kak.”

Aku tersenyum, tumben Lili selembut ini langsung nurut kepadaku.

”Kak, Kak Ja mana?”

”Hm?” aku menunduk, tak mengerti apa yang Lili katakan. ”Siapa?”

”Kak Ja. Kak Ija mana nggak datang-datang?”

Mendadak, kembali diam. Aku lupa dan merasa bersalah karena kemarin kau tidak datang. Dan kini, Lili terus menagih tentang jawabanku. Ya, yang mengatakan bahwa kau akan tiba—setiap harinya begitu.

Kembali, genap satu minggu penuh kamu tak hadir, yang membuat aku mulai merasa lelah untuk bertanya dan meyakinkan diriku sendiri; tak ingin lagi berharap lebih pada jeda waktu tiga hari selanjutnya, yang jelas aku tau kalau kau telah kembali padanya dan dia melarangmu ke mari.

”Kak.” sapa Alan yang datang bersamaan dengan Riyan di belakangnya. ”Kakak nggak papa?”

Aku mengerut kening, tapi sesaat kemudian langsung tersenyum manis, sebisa mungkin sudah kuusahakan. ”Iya, kakak nggak kenapa-kenapa,” kataku, sedikit merentangkan tangan ke bawah, memperlihatkan kalau aku baik-baik saja. Lalu, aku menoleh pada Riyan. ”Lho, kok kalian belum berangkat ngamen, kenapa?”

”Ya ini kami memang baru mau berangkat, tapi berhenti gara-gara lihat kakak sama Lili di sini, mukanya sedih gitu, jadinya penasaran, hehe.” Riyan memang begitu, selalu saja apa yang terlintas di kepalanya lancar terucap.

Belum juga kujawab, sudah diserobot cepat oleh  Alan. ”Kakak kangen Kak Za, ya? Hayo …”

Aku tertegun, diam, merasa lidahku kaku.

Cukup menyebalkan memang, menggoda dan membuatku malu, pipiku merah terasa menguap rindu, kamu di mana … namun terikat pilu.

Aku habis, gelagapan karena Alan dan Riyan kini tertawa ngakak sembari terus meledekku. ”Cieee … kangen! Hahaha, kak Syifa kangen Kak Ihza! Hahaha! Kangen kangen ... Kangen kangen ....”

Iya, seperti itu, aku cuma bisa diam, sungguh malu. Namun, terima kasih Lili yang kali ini sudah berbaik hati mau berpihak kepadaku karena polosmu. Lili, barusan dia berteriak kencang, meralat ledekan Alan dan Riyan dengan wajah cemeberut. ”Bukan!!! Yang kangen Kak Ja itu Lili, bukan Kak Cipa. Iya, kan, kak?” dan aku sigap mengangguk, memberi jempol—ingin rasanya mendekap Lili.

Hehehe, aku tersenyum, benar-benar tersenyum.

≠≠

Hehehe, sorry lama update-nya, baru sempat.

Gimana? Makin nggak jelas, ya? 😂 Udah, nikmatin aja, jangan lupa kritik dan sarannya.

Dapat salam dari si kecil Lili😘😘

Arii Trias, yang pas update lagi meringkuk 😂😋

KZA (TAMAT)Kde žijí příběhy. Začni objevovat