#2. Ini kamu: sama.

82 19 2
                                    

Aku kadang bertanya dalam hati; kenapa kamu mau datang ke sini? Tempat ini kotor, bahkan juga kami, yang tak luput jadi tempat bersinggahnya lalat.

Lihat kami. Beda?

Harummu, lebih dari kata nikmat untuk dihirup. Aroma cokelat muda segar yang selalu membuat kami betah berebut agar bisa duduk disanding kiri atau kananmu. Bahkan, coba lihat si kecil Lili; pangkuanmu jelas tak akan rela ia bagi dengan yang lain. Malahan, dia pula yang paling rutin dalam seminggu ini terus bertanya kenapa kamu tak datang. Yang kujawab: ”Kak Za mungkin lagi banyak kerjaan … nanti kalau dia ada waktu pasti mampir ke sini … Lili sabar, ya,”

Malam itu, Lili menuju lelap, memangkas jam bermainnya bersama yang lain.  Padahal tak jauh dari Lili, aku juga bertanya, dalam hati. Ke mana kamu seminggu ini?

Lalu, aku harus meminta jawaban pada siapa? Diriku sendiri?

”Kalian jangan malas belajar, supaya jadi anak pintar. Nanti, besarnya jadi orang sukses.” nasehatmu di kala kita semua sudah berkumpul—melahap nasi bungkus juga jajanan ringan yang kau bawa.

”Kakak dulu kecilnya pemalas, nggak?” Riyan, yang paling lugas bertanya padamu tak pernah kehabisan kata. Ajaib.

Kamu bukannya menjawab dengan kata malah tersenyum geli lanjut mengangguk yang membuat kami semua tertawa.

”Kenapa kakak pemalas tapi bisa sukses? Pasti bohong ...” iya, bagus Riyan. Dengan lugu atau tidak terimanya pula kamu ditanya begitu.

Kamu menggeleng, bercanda. ”Kurang tau juga,”

”Aku mau jadi pemalas juga kayak kakak, biar sukses.” ceplos Lili yang tak kalah membuatmu kaget dan kudu cepat meralat meskipun terdengar lucu. Kecil dan lugu.

”Jangan! Nggak baik, itu namanya kebiasaan buruk. Kakak ke sini bawa buku itu tujuannya supaya kalian mau rajin belajar, bukan malah jadi pemalas.” ralatmu. Lalu, menunduk pada Lili, ”Kakak dulu kecilnya rajin belajar, kok. Jadi Lili harus rajin belajar juga. Yang tadi itu cuma becanda, jangan ditiru. ” dan Lili, seperti biasanya langsung mengangguk nurut. Kata-katamu bagai candu lega baginya.

”Jadi, siapa aja nih yang tadi sore mandi dan nggak mandi?” tanyamu terkekeh kecil. Matamu, menilik seolah meneliti diri kami satu persatu.

Tak ada yang menjawab ataupun mengacung. Kali ini, kamu nyengir. Tak lupa, tangan kananmu terus mengusap puncak Lili.

Bukanya kami tak mau, lagian kamu pasti tau bahwa pagi hingga sore kami sudah diambil jawabnya oleh bunyi jumlah koin dalam gelas plastik. Bila nyaring, sudah cukup bisa membuat tidur kami nyenyak dengan perut kenyang di malam harinya. Padahal, kami sungguh ingin juga punya aroma cokelat muda sepertimu. Sungguh jika bisa, kami segera ingin melepas aroma matahari yang sudah melekat lama ini.

”Syifa tadi mandi?”

Aku menggeleng pelan, malu.

”Mandi dong …” selorohmu, ”Kamu udah besar, harus bisa jadi contoh untuk mereka juga. Sudah jadi gadis remaja utuh, masa iya cantik begini nggak mau mandi,” tidak usah menunggu lama, kalian langsung tertawa geli.

Aku mengangguk memandangmu, juga dalam hati segera mengucap janji; besok aku mandi. Dan, tidak akan pernah sekalipun ingin membantah perintahmu.

***

Sudah menjelang jam sebelas malam, kamu sepertinya belum ingin mengucap pamit. Kita duduk berdua beralaskan kardus, memeluk lutut sambari berjaga memandangi mereka yang sudah terlelap.

”Kakak nggak pengen kalian tinggal di sini terus, di bawah jembatan. Kamu tau, entah sudut mana yang menggambarkan sehat.”

Aku hanya menunduk, tak berani mendongak apalagi menatam matamu. Sebenarnya aku bingung, mau jawab apa.

”Syifa mau lanjut sekolah ke SMA?”

Apa mungkin aku tak kaget mendengarnya? Tidak mungkin. Aku benar-benar mendongak dan menatapmu dalam, kenapa dipertanyakan, karena sungguh-sungguh-sungguh aku mau.

”Kakak pengen kalian tinggal bareng kakak  di rumah,” katamu seakan bergumam, ”Kamu bisa lanjut sekolah, dan yang lain juga. Kalian butuh tempat bermimpi dan jalan menuju mimpi,” nafasmu tertarik sekali. ”Kalau kalian mau, kita bisa tinggal sama-sama di rumah kakak.”

”Tapi, Kak …” aku belum berani melanjut kata. Masih ingat tiga minggu lalu saat kamu datang ke sini bertemakan Tessya, kekasihmu, yang memandang kami dengan raut tak suka cenderung jijik. Sorotnya juga aku takut, menggambarkan ketidaknyamanan. Lagi-lagi aku ingat saat dia mendesak seperti merengek ingin lekas mengajakmu pulang.

”Nggak papa, nggak bakal ada yang marah.”

Kembali kupandang matamu, kamu mengangguk tersenyum.

”Kak Tessya?” maaf, aku terlalu lancang. Aku menunduk.

”Kakak udah nggak pacaran dengan kak Tessya lagi,”

Kita entah terdiam untuk beberapa lama setelah kata-kata itu keluar. Aku tidak tau, yang jelas semua itu sedang kucerna baik-baik saat ini. Lalu diammu ini aku tau, jelas sungguh karenanya. Kamu tersenyum di depan kami dan tertunduk saat berjalan pulang. Aku tak tau betapa dalamnya luka hatimu, aku tak tau. Yang pasti sungguh pedih saat tau kekasihmu tak lagi mengirim rindu, terlebih lagi memutus rindu.

”Kalian mau tinggal bareng kakak?” pertanyaanmu yang belum terjawab terlontar kembali.

”Keluarga kakak…?”

Kamu menggeleng, ”Kakak sama seperti kalian,”

Aku terdiam dalam sesaknya nafas. Tak berani bersuara, hanya berani mengangguk. Kami mau … dan aku mau.

***

Apa kau ingin tau?

≠≠

Yeah, update lagi 😂

Apa kabar kalian para budak galau? Sehat? 😅

Yok, mampir yok. Ajak temen yang lain!

Arii Trias, yang pas update lagi garuk-garuk 😌

KZA (TAMAT)Where stories live. Discover now