[three] to [ten]

6.6K 314 38
                                    

Pintu diketuk membuat mata emas tadinya terpejam, kini membuka. Sepintas terlihat mengerjap, mengurangi kantuk, lalu menggesekkan badan ke bawah agar terlepas belenggu lengan Reon.

Sesudah terlepas, bayi itu menelungkupkan diri dan merangkak mundur. Usai mencapai lantai dengan kedua kakinya, bayi itu segera menuju pintu meski terhuyung-huyung.

Nyaris tabrakan dengan pintu, bayi mirip ibunya menahan diri menggunakan pintu. Merasa pandangan tak mengabur, bayi itu menjinjitkan pintu agar meraih gagang.

Saat hampir mendapatkan gagang pintu, justru pintu terbuka dari luar. Tak punya kesiagaan, bayi itu mundur hingga jatuh dengan pantat mendarat duluan.

"Oh, God. Cloudy!" pekik sang ibu kandung bayi itu, tertahan. Wanita itu membalik badan, menyerahkan baki ke tangan Gio, lalu mendekati Cloudy. "I'm sorry, Sayang. Mommy tidak tahu kamu di situ."

Meski agak nyeri di bagian pantat, Cloudy tak bakal menangis. Dia hanya tersenyum, memerlihatkan bahwa Cloudy baik-baik saja.

"Bisa bangun atau Mommy bantu?" Oceana tak perlu bertanya, karena tindakannya bikin Cloudy berdiri tanpa memakai bantuan. "Kamu sudah besar, Sayang. Mommy kehilangan waktu-waktu berharga buat kamu."

Cloudy menggeleng, mengulurkan tangan untuk mengelus pipi Oceana. "Nda, Mommy. Ody ayang Mommy," katanya parau.

Terkejut, Oceana bangkit dan mengambil gelas, kemudian menyodorkan pada Cloudy. "Minum, Sayang, suaramu kelihatan serak."

Bayi itu memegang gelas, hati-hati. Namun, bukan langsung diminum, Cloudy mencari kursi agar dirinya bisa duduk.

Setelah mendapatkan sofa paling ujung dekat jendela, Cloudy menepuk sofa itu, memeringatkan ibunya untuk mengangkat anaknya.

"Kamu mau duduk?" tanya Oceana bingung. Perlahan, Oceana menyanggupi. "Terus?"

Barulah Cloudy meminum isi gelas itu usai merapikan cara duduknya. Tentu Oceana terpana, tak menyangka seorang bayi harusnya meminum langsung, tetapi beda hal dengan Cloudy yang luar biasa pengamatannya.

Di balik punggung Oceana, Gio tersenyum karena didikan ayahnya, Cloudy telah belajar secara baik.

"Dah, Mom," ucap Cloudy menyerahkan gelas kosong.

Masih terpana, Oceana meletakkan gelas kosong ke meja terdekat. Tak lama, Cloudy turun tanpa bantuan, berjalan mendekati Gio. Mata Oceana tak luput dari gerak lincahnya Cloudy.

"Tu pa?" tunjuk Cloudy ke arah baki kepada Gio.

"Sarapan pagi."

"Oti?" Cloudy berjinjit mencari tahu. "Cucu? Ubul? Da eyul?"

Gio terkikik. "Semuanya ada. Sarapan kesukaan Young Master."

"Kamu masih memanggil Cloudy dengan Young Master?" Oceana bingung atas ini semua. Ada berapa tahun, Oceana tak mengenal anaknya sendiri.

"Kebiasaan." Gio mengulas senyum sembari mendudukkan Cloudy ke kursi, selain sofa. "Young Master anak emas. Pikirannya mampu mencerna, meski ada waktu Young Master seperti bayi pada umumnya."

"Mungkin aku memberikan banyak gizi untuknya," ujar Oceana membalas dengan senyum.

"Bisa jadi." Gio mendongak, menatap Reon. "Kalau sahabatku tidak dibangunkan, dia bisa tidur sampai siang."

Oceana terkekeh. "Efek menangis, bukan?"

Gio menggeleng, ikut terkekeh. "Aku tidak lihat seberapa banyak Master menangis."

"Master?" Alis Oceana naik. "Lantas, haruskah kamu menyebut diriku? Sebagai apa?"

"My Lady."

Good Time ✔️Onde as histórias ganham vida. Descobre agora