Claustrophobia

636 82 5
                                    

Hari ini adalah hari AIDS, yang berarti jam pertama di sekolahku diisi senam bersama. Semua murid datang ke sekolah pakai kaos olahraga dan tumpah jadi kerumunan besar di lapangan upacara. Musik senam SKJ diputar keras-keras memenuhi seluruh sudut sekolah.

"Saya boleh ijin, Pak?" tanyaku pada Pak Ishak.

"Ya?"

"Saya boleh ijin ga ikut senam? Tangan saya ga boleh dipake gerak-gerak."

"Apa, Rald?" teriak beliau mengatasi suara musik SKJ.

"IIJIIN GAA IIKUUT SEENAAAAM!!" teriakku di kuping Pak Ishak sampai anak kelas satu yang lewat melompat jantungan.

"Ooh," seru beliau. "Boleh, boleh. Tunggu di kelas aja kalo gitu."

Aku berbalik untuk kembali ke kelas.

"Rald, Rald," panggilnya. "Sekalian balikin ini ke gudang, ya."

Aku terpaksa jalan ke gudang penyimpanan alat olahraga sambil bawa gulungan kabel di tangan kanan. Gudang itu ada di belakang, lumayan jauh dari lapangan. Bentuknya kotak beratapkan semen bukannya genteng. Aku tidak suka bangunan ini karena gelap dan tidak punya jendela. Kulempar gulungan kabel itu ke dalam pintu gudang agar tidak perlu masuk untuk menaruhnya.

Tapi meleset. Gulungan kabel itu jatuh menimpa keranjang bola sampai bikin isinya melompat kemana-mana. Aku terpaksa masuk untuk membereskannya.

BRAK! Pintu gudang tertutup. Kegelapan total membutakan mataku. Aku berjalan ke satu-satunya sumber cahaya yang menembus dari bawah celah pintu. Kucoba menarik-dorong pegangan pintunya tapi tidak berhasil.

"Woy!" teriakku, lalu menggedor-gedor pintu. Aku mulai gelisah karena napasku jadi sesak.

BRAK BRAK BRAK BRAK!! Pintu kupukul dan kutendang kuat-kuat. Percuma, karena bunyi musik SKJ di luar terlalu keras. Dan siapapun yang sengaja mengunciku tidak mungkin berniat untuk membukakannya.

Aku berusaha tetap bernapas. Aku tidak pernah tahan berada di dalam mobil, lift, atau ruangan sempit lain, dan kegelapan total adalah sesuatu yang sejak kecil selalu kuhindari secara instingtif. Meskipun cahaya sempit dari bawah pintu membuktikan bahwa ruangan ini tidak kedap, rasanya oksigen sudah benar-benar menghilang dari udara.

Aku berlutut agar lebih dekat dengan celah pintu sementara pupil mataku melebar. Keringat dingin mulai muncul di telapak tangan, leher, dan punggungku. Aku memikirkan Panthera, juga Rani, yang tidak mungkin bertindak sejauh ini. Ruangan ini tidak kedap; aku berusaha meyakinkan diri. Tapi makin lama tenggorokanku makin tercekik. Kuremas kerah kaos olahragaku seperti orang sekarat. Nyatanya udara memang tidak kurasakan. Mulutku terbuka lebar untuk menghirup sesuatu tapi tak ada apapun yang kudapat.

BRAK! Kupukul pintu dengan kepalan tangan.

BRAK... BRAK... BRAK! Pukulku dengan ubun-ubun menempel ke pintu. Kuturunkan tangan kanan hingga sejajar dengan telinga. Bunyi detik jam tangan analogku terdengar sangat dekat.

Satu... dua... tiga... empat...

Aku menghitungnya di dalam kepala.

Delapan... sembilan... sepuluh...

Kenapa aku tidak bisa pingsan? Dengan begitu rasanya akan lebih gampang.

Pada hitungan ke tiga ratus, aku tidak lagi berusaha menangkap udara dengan mulut terbuka. Aku tahu udara yang kucari sebenarnya tidak pergi kemana-mana.

Hitunganku mencapai angka enam ratus. Keringat dingin membuat kaos olahragaku basah. Kalau penyiksaan di film-film dilakukan dengan mencambuk dan melukai sandera, mereka cuma perlu mengunciku di ruangan gelap untuk memaksaku patuh. Rasanya seperti kepala yang dibungkus plastik dan diikat erat-erat, sehingga alih-alih udara, plastiklah yang menempel ketat ke lubang hidung waktu aku berusaha menarik napas.

RALDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang