Mengenang Perayaan

80 5 0
                                    

Telah genap setengah tahun aku mendambamu, mengalamatkan rindu yang keliru. Berbagai upaya hanya untuk mendapatkan, tak terlintas sedikitpun di relung perasaan. Bagaimana tidak, jelas-jelas kau mendamba sebuah hati yang sudah pasti kau bilang cinta jawabannya tidak. Jangan berharap tentang bahagia yang kau janjikan akan lebih nyaman dari pasangannya yang kini dipelukan. Kalau kau memang sudah tau di depan kenapa masih saja kau lanjutkan? Tiba-tiba pertanyaan yang tak beraturan keluar dari kepala dan menghiasi dinding-dinding kamar. Seolah memutarkan kebodohan-kebodohan hari lalu, saat aku mengejar dank au dengan sopannya menghindar. Terlalu sibuk mengupayakan hingga lupa kau tak memikirkan raganya telah berlabuh pada Sang Pangeran. Terlalu cepat berlari, hingga kau lupa bahwa di hidupnya sudah ada yang mewarnai. Kau bukan robot, yang ketika kau jatuh, kau rusak, dan hilang arah. Tingga install ulang dan berganti baru lagi. Kau ini manusia! Punya hati. Ketika kau hilang kendali dan hilang akal akan cinta yang gagal. Tak akan bisa kau diinstall ulang. Meninggalkan sisa-sisa sakit yang kau rawat sendiri. Sedangkan dia tetap bahagia, bersama pasangannya yang selalu dibanggakan dalam segala akun lini masa. Apa tak cukup membuatmu gila? Pertanyaan yang menghujam tepat di raga, dengan garangnya menembus jiwa. Begitu ku nikmati tulisan ini dengan menasehati diri sendiri. Begitu kebal akan cacian dari mereka yang peduli.

Apakah aku robot yang terlahir diantara manusia? Teramat jelas, aku memperjuangkan hati dari luka yang kubuat sendiri.

Berhenti, masih takut untuk ku gauli.

Menyerah, hanya akan menimbulkan luka tak terarah.

Melupakan bukan cara yang tepat. Ketika kenangan tak berhasil menjahit luka dari yang kau dapat. Kita hanya perlu merelakan apa yang selama ini telah menjadi beban pikiran. Serpihan-serpihan kisah lalu selalu tetiba-tiba muncul tak peduli akan hal baru. Mencoba sekeras hati menerima keentahanmu, namun rasa ini telah terhanyut pesonamu.

Cukup!

Aku tak ingin mengingat semuanya. Apa saja yang membuatku luluh di hadapanmu, kini mulai muncul dan kembali mengusik hidupku. Bagaimana caramu menyapaku dengan panggilan masa kecil, mampu membuat hati ini semakin kerdil. Emoticon senyum khas darimu selalu menghiasi balas pesan selamat pagi dariku. Sudahlah kata mesra dan manja itu tak akan kau temui lagi. Rasamu memang abadi, tetapi dengannya telah tersiapkan pemakaman terindah penuh bunga berwarna-warni. Kenyataan tersadar, senyummu itu telah milik pasangannya dan buah hati yang lucu dengan mata berbinar.

Tepat aku menulis ini, enam tahun yang lalu aku disibukkan untuk menyiapkan perayaan ulang tahunmu. Terlalu sibuk menyiapkan, hingga lupa perasaan ini telah termentahkan. Masih ingat jelas dalam ingatan, berjejer kue tart dengan berbagai toping menjadi pilihan kala itu. Aku bukan tipe orang yang selektif. Jadi tak perlu lama aku memilih dari sekian pilihan. Sama halnya ketika aku memilih menjatuhkan hati padamu, tak pernah ada pertimbangan kala hatiku telah kau hujani dengan senyuman. Belakangan ini aku aku tahu, kau perempuan penyuka keju. Sekarang kau masih menykainya kan? Bermodal itu aku memilih kue tart. Lagi dan lagi sama halnya ketika aku memilih untuk kau yang ku damba. Bermodal senyum yang menyirami gersang hati hingga mampu mentunaskan bunga baru.

Sudah!

Mengenangmu hanya membuat air mata yang mengering, kembali dirundung basah. Aku paham, kau tak akan pernah tahu bagaimana cara aku menuliskan kisah tentang luka tak bernanah. Puluhan lembar kertas sudah mulai memenuhi tong sampah. Menulis sesuatu yang bahagia tentangmu aku tak kuasa. Sebab, yang aku tahu darimu, hanya luka yang kini masih tersisa. Aku tak munafik, nyatanya memang upaya memperjuangkan dan menyatakan selalu kau tampik. Sebenarny aku bisa saja menulis bahagia, sebab paling tidak, meski kau tak pernah menerima rindu yang aku alamatkan, kau pernah membuatku semangat untuk menghirup udara beberapa hari ke depan. Bagiku kau masih tetap tak tergantikan. Meski kini aku telah mengalamatkan rindu pada seorang perempuan. Perempuan yang pada akhirnya mempu membuat luka pamit dengan begitu sulit. Tanpa mengusik sebuah komitmen dengannya yang begitu asik. Hingga tak lama kau kembali menampakkan luka seiring undangan pernikahan dengannya.

Luka yang telah ku tutup rapat. Kini kau sayat lagi dengan begitu laknat.

Selamat atas rindu yang kau panen, darinya yang selalu kau puja paling keren. Aku sadar, memang luka sampai kapanpun akan membekas. Yang lalu luka darah mengucur deras, hingga kabar bahagiamu datang mampu membunuhku dengan beringas. Ikhlas, untuk hati yang dtinggal dan memelas. Aku panjatkan do'a kepadaNya untuk kebahagiaanmu kelak dengannya. Dihadiahkan buah hati yang lucu. Hingga kelak ketika kita bertemu pandanganku tak lagi tentangmu.

Selamat, atas hatimu yang bertahan begitu rapat. Aku belum lega ketika hadir di acara sakralmu kala itu. Ucapan selamat itu hanya formalitas belaka. Sebab, aku tak mampu berkata-kata, jika melihatmu bahagia, sudah cukup aku memulangkan duka lara. Melalui tulisan ini, kau akan tahu bahwa kenangan tentangmu telah terkubur dalam bersama kisah-kisah masa lalu. Terimakasih telah menjadi bagian dalam hati. Meski pada hakikatnya, sekanrio patahanmu paling baerati.

Selamat, untukmu doa ku panjatkan dengan khidmat. Semoga selalu bahagia, perihal hati yang luka aku sudah paham merawatnya.

Dariku, yang dari awal gagal memilikimu. Sebab, selamanya bintang dan mendung tak akan hidup bersama.

Skenario Pematah HatiWhere stories live. Discover now