Berakhir Di Lain Pelukan

210 6 0
                                    

Setiap keputusan adalah hal yang benar-benar matang dan perlu pemikiran yang jauh. Tapi untuk saat itu aku tak berpacu pada teori tersebut, pertama kali aku mengambil keputusan berat tentang sebuah hubungan, dan itu salah ketika aku menyadarinya. Dimana untuk kali pertama aku harus melepas, meninggalkan dengan sangat beringas raga yang pernah aku perjuangkan dengan mati-matian, raga yang selalu menjadi pelengkap dalam setiap langkah kehidupan. Wanita yang menjadi motivator kedua setelah ibuku, semangat kerja, menyusun tugas akhir perkuliahan. Aku akui tidak akan bisa pada titik tersebut tanpa dia. Iya. Dia yang begitu sangat berarti, sangat berharga untuk deretan wanita yang pernah singgah dalam penghujung resah.

Aku dengan teramat sadar melukai sebuah perasaan seseorang yang tiada lelah dan henti memberi arti dalam hidup ini. Pertemuan yang dulu sengaja dipertemukan rasanya tak pernah mampu memaafkan tiap-tiap kesalahan yang pernah aku lakukan. Bagaimana mungkin aku setega itu, sampai saat ini aku tak sempat berpikir kenapa aku begitu kejam pada hati yang jelas tak pernah menghujam. Bahkan hujan semangat yang selalu dia berikan setiap harinya tak pernah aku hiraukan.

Keputusan fatal ini berawal ketika sebuah beban yang menggelantung di pikiran, ketika seorang lulusan sarjana pendidikan dengan tak seberapa membanggakan, aku lulus dengan keterlambatan satu semester. Aku tak pernah peduli, sebarapa lama yang terpenting aku bisa lepas dari hujaman tugas-tugas dan juga aktifitas yang membelenggu di tiap pekan yang menjenuhkan.

Akhirnya aku lulus juga.

Kata kedua yang aku ucapkan setelah sujud syukur pada hadapan Tuhan.

Aku tahu ini bukanlah sebuah akhir, melainkan sebuah awal, dimana gerbang kehidupan yang sebenarnya sudah menanti di depan mata. Kerja, karir, kemapanan, hingga ikatan suci yang direstui oleh Tuhan tetiba-tiba menghantui perasaan. Mungkin tidak hanya aku, ketika mereka sudah berhasil lulus dari jenjang pendidikan pastilah pikiran akan bercabang. Saat itu pula aku berada di sebuah fase dimana kegundahan menjadi makanan pokok dan kebutuhan. Bagaimana tidak, seorang mantan mahasiswa perantauan kembali ke kampung kelahiran, pasti dihadapkan dengan beberapa pilihan. Apalagi saat itu aku masih terikat sebuah hubungan dengan satu perempuan. Iya perempuan yang sekilas aku banggakan di awal tulisan. Aku harus menjalin hubungan yang biasa disebut anak muda jaman sekarang dengan Long Distance Relationship.

Apalah.

Jujur kala itu sungguh berat, dimana pikiran seorang pengangguran dengan beraninya menjalin hubungan dengan anak orang.  Hingga akhirnya keputusan bodoh ini muncul, aku dengan nista mulai menjauhinya, kata putus menjadi penghujung dari sebuah hubungan yang dengan istimewanya menyisakan kenang. Alasan klise hubungan jarak jauh kala itu semakin mendramatisir suasana. Padahal pikiran pada masa depan yang belum tentu meyakinkan yang menjadikannya alasan aku berhenti berhubungan.

Aku bodoh.

Aku pengecut.

Aku pendosa.

Bagiku, melepasmu butuh pikiran yang jauh lebih rumit dari sekedar mencari. Memang penyesalan yang menjadi hantu setelahnya. Perasaan bersalah seakan-akan membuatku goyah, bukan mengurangi beban pikiran, malahan menambah angan di tiap malam menjelang temaram. Aku dengan sangat sadar melukai hati perempuan baik yang tanpa sedikit pun mengenyam kesalahan.

Beribu maaf aku panjatkan pada Tuhan. Perihal apa yang aku perbuat melukai perasaan.

Aku menulis ini adalah sebuah pengakuan dosa, yang tak akan pernah bisa aku perbaiki, tak akan pernah bisa aku mulai dari awal.  Dimana aku memperjuangkanmu dengan teramat gilanya.

Kamu.
Pusat semestaku. Kala itu

Sebab, terakhir kali aku menghubungimu, beribu maaf terlontarkan tak pernah kau hiraukan, bahkan aku dengar kini kau tengah dekat dengan seseorang.

Maafkan.
Aku yang tak berperasaan.

Sakit mendengar kabar bahagiamu di pelukan kekasihmu. Aku siap menanggung semua karma dari bibirmu yang tak pernah kudengar terucap. Aku menanggungnya. Aku menderita dengan sebuah luka yang ku buat dengan sendirinya.

Sekali lagi.

Maaf. Maaf. Maaf.

Beserta doa-doa sederhana yang mengharapkanmu bahagia dengannya. Selalu tersenyum untuk lelakimu seperti dulu ketika kau memahami egoku. Terimaksih pernah singgah di hati yang menyakitimu dengan terengah-engah. Berbahagialah selalu. Dan, untuk lelaki yang sekarang menjadi pusat perhatianmu, titipkan salamku jangan seperti aku yang dulu meninggalkanmu, jangan pernah menyakiti perempuan yang menjadi nomor satu di hati. Dan selamat, kau mendapatkan perempuan yang tepat, aku yakin setiap langkahmu ada dia yang selalu mendekap. Jadilah lelaki baik untuk perempuan yang baik. Kelak, ketika kalian mengucap janji suci di pelaminan, aku akan menjadi pengagum pertama keluarga baru yang telah aku ikhlaskan.

Berbahgialah kalian berdua. Disini aku masih menanggung luka dari apa yang pernah aku tanam di masa lalu penuh nelangsa.

Disini aku menunggu undangan pernikahanmu, dan akan selalu tersimpan, untuk mengingatkan bahwa pernah ada satu perempuan yang aku ikhlaskan di lain pelukan.

Skenario Pematah HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang