Rehat

112 3 0
                                    

Ada kalanya waktu berlari dengan terburu-buru. Tak kenal lelah, tak berujung resah. Tak jarang juga waktu menuntut kita agar mengikutinya. Sedangkan kapasitas tenaga tak pernah punya celah untuk beriringan dengannya. Begitu pula otak ini yang masih lelah akan kenangan sebelumnya, harus memulai kisah baru lagi untuk kau nikmati. Aku di sini terbunuh hembusan waktu. Habis segala tenaga dan hilang terkoyak kisah tentang kita.

Sepertinya aku harus berteman dengan waktu, agar bisa bernegosiasi dengannya. Supaya irama berlarinya tak membuatku terengah menenun kisah.
Ahhh. Terlalu egois sebagai manusia.
Banyak raga di luar sana dengan segala upaya memperjuangkan waktu agar lekas terburu sebuah jawaban atas apa yang ia tunggu. Tak hayal, aku hanya bisa mengenal waktu, dan tak punya hal istimewa untuk lebih dekat dengannya.
Salah satu cara terbaik adalah rehat dari peluh lelah seiring waktu yang mulai menyalip dengan begitu bengis. Aku hanya bisa menengadahkan kepala sembari berkata: “Berlarilah terlebih dahulu, aku istirahat sejenak dari luka masa lalu. Kelak ketika aku sudah siap, segera menyusulmu dengan berlari tegap.” Walaupun dengan begitu sadarnya aku tak akan pernah melampauinya.

Ketika bangkit dari lelah, mungkin waktu sudah bersahabat denganku. Sebab, di dalam istirahat, aku telah menuntaskan semua hati yang pernah mengikat ataupun gagal terdekap. Hal-hal tentang melupakan, bukan waktu yang memburumu untuk menuai kenangan baru. Kadang kau perlu beristirahat sejenak, menahan diri dari sebuah kenangan yang mengitari.
Jangan terburu-buru, walaupun waktu berlari mendahuluimu. Percayalah dia meninggalkan ribuan kisah untuk kau beralabuh dengan teramat teduh.

Skenario Pematah HatiWhere stories live. Discover now