0,2 - his support system

1.2K 173 14
                                    


USAI memarkir mobil, Leo meregangkan kedua lengannya ke samping dan melakukan gerakan-gerakan agar badannya terasa relaks. Punggung dan pinggangnya terasa kaku setelah seharian duduk di kantor. Kalau saja ia bisa memilih bekerja seperti Samandriel, duduk di kamar dengan laptop, menggambar desain, lalu saat luang memainkan kursor untuk membeli saham, dan berinvestasi. Bukan berarti Leo mengeluh dan menyesali keputusannya untuk bekerja di sebuah kantor yang bergerak di bidang manufaktur, tapi kadang-kadang, seperti hari ini yang super melelahkan, ia berharap besok ia tidak perlu bangun pagi dan pergi ke kantor.

Sammy, begitu ia biasa memanggil Samandriel, acap kali menertawakan Leo kendati laki-laki itu bekerja dengan kemeja dan berpenampilan rapi. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan bekerja mengenakan kemeja, toh itu adalah sebuah hal yang lumrah dan wajar. Hanya saja, Sammy adalah pribadi yang nyaman dengan hal-hal kasual.

Leo menguap.

"Capek ya?"

Laki-laki itu sedikit terkejut. Kedatangan tiba-tiba gadis dengan senyum lebar itu sempat membuat Leo terlonjak. Namun pada detik ini, bibirnya melengkung bulan sabit. "Hei.." sapanya hangat.

Gadis itu mengangkat tangan kiri dan memastikan jarum jam pada arlojinya. "Masih jam sepuluh tapi kamu udah nguap tiga kali. Capek banget di kantor?"

Leo mengiakan. "Disuruh bos wara-wiri kayak kurir. Kamu kok di sini? Bukannya ada shift malem?"

"Iya, sebelum ngantor mampir bentar, hehe."

"Kamu udah makan?" tanya Leo, nadanya penuh perhatian. Gadis itu mengangguk. "Tadi jadi ke tempat Sammy?"

"Iya. Makin kacau aja dia."

"Heran, seoke apa sih mantannya? Kok bisa-bisanya Sammy jadi kayak orang kehilangan tiga perempat jiwanya gitu. Dia dipelet kali, ya?" Calista, bergidik. Ucapan asal itu memancing tawa renyah Leo. Ia mengacak puncak kepala Calista, "Yang jelas, Sammy tuh cinta mati sama mantannya. Entah itu hasil pelet, hasil susuk, hasil dukun, yaaaa beda urusan."

Calista geleng-geleng.

"Kamu udah mau masuk?" tanya gadis itu sambil menunjuk rumah berlantai dua, yang berjarak sekitar sepuluh meter dari tempat Leo memarkir mobilnya. Laki-laki itu menggumam. "Kamu udah mau ngantor?"

"Iya, unfortunately."

Leo pura-pura cemberut. "Kamu bisa nggak sih, minta ke manajer produser supaya kamu ditaruh di segment siang atau pagi aja? Aku tuh suka was-was kalau kamu berangkat jam segini terus pulangnya tengah malem."

Calista tertawa kecil. "Nggak papa, format ini cuma sampe bulan depan kok. Next time aku bakal ditaruh di slot lain."

"Bener?"

"Iya, beneran."

"Ya udah, bagus deh." Leo terlihat lega, kecemasan di wajahnya sedikit memudar. Calista teringat sesuatu, lalu melanjutkan, "Sammy belum ngasih kepastian soal tawaran kamu?"

"Belum. Aku suruh mikir lagi, siapa tahu dia berubah pikiran. Sayang banget dia punya potensi kalau nggak dikembangin. Lagian, dia tuh butuh distraksi supaya cepet lupa sama mantannya itu."

"Putusnya kenapa sih? Dia diselingkuhin ya? Apa ditinggal kawin?" tebak Calista sadis.

Leo mengangkat bahunya, tanda tak punya jawaban. "Aku nggak tahu, dia nggak pernah cerita dan aku juga nggak nanya banyak. Takut dia makin kacau. Pokoknya dia perlu kesibukan lain. Dia minum banyak banget loh, tapi nggak ada tanda-tanda mabuk. Kan aku kuatir."

Calista mengulurkan tangannya, mencolek dagu Leo. "Awwww, gemesnya. Aku suka deh lihat kamu perhatian sama temen-temenmu."

Leo tersipu. "Jangan colek doang dong. Cium sini biar aku tidurnya nyenyak."

Menurut, Calista mendaratkan kecupan di pipi kiri Leo. Ia tersenyum lalu merapikan ujung blusnya. "Aku berangkat ya, Le."

"Take care, call me later."

"Will do."

Calista berjalan mundur, melambaikan tangan pada Leo hingga ia sampai di mobil. Lima menit kemudian, Calista sudah meluncur ke stasiun teve untuk menunaikan kewajibannya sebagai news anchor. Leo menguap lagi. Tapi berbeda dengan sebelumnya, seluruh otot yang kaku terasa relaks. Letihnya juga seolah gugur, tak bersisa. Leo tersenyum simpul.

Calista adalah perempuan yang selama setahun terakhir menjadi bagian dari hidup Leo. His support system, katanya. Tak ayal jika keberadaan Calista kurang lebih seperti daya yang mampu mengisi penuh energi Leo. Laki-laki itu mengecek mobilnya sekali lagi, memastikan bahwa semua sudah terkunci sempurna. Kemudian ia melenggang pulang dengan lengkung bibir sempurna.



- - -





ROSYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang