Pembunuhan

34 3 4
                                    

Hari ini hari terakhir ujian nasional tingkat SMP, aku lega karna sudah bisa bebas beristirahat tanpa memikirkan pelajaran untuk sementara waktu.

Aku berjalan kaki pulang kerumah Papa yang kini menjadi rumah ku, aku jujur.. Aku mulai senang tinggal bersama orangtua angkat ku, aku mulai merada mereka amat penting dan mereka menyayangiku setulus hati, jadilah aku mulai menurut pada mereka.

Daddy sudah lama tidak mengunjungi ku, aku khawatir Daddy meninggal karna pekerjaan nya, tapi aku yakin Daddy pasti masih hidup, hanya saja ia mungkin tidak sempat lagi menemuiku, tak apa.

Saat kaki ku berdiri di depan pagar rumah Papa, aku mencium bau danur. Apa apaan ini?

Perasaanku pun mulai tidak enak, aku langsung bergegas lari untuk masuk ke dalam rumah. Naas, kedua orangtua ku terbujur kaku, mereka berdua bersimbah darah dengan luka tusuk dimana mana.

Aku menatap mereka berdua dengan jantung yang berdetak cepat dan nafas yang agak sesak. Mama masih bernafas!

"Mama, bangunlah ma. Bangunlah!."

Mama membuka mata nya.

"Coraline, Jhi..Jhi.."

"Ada apa ma? Jhi apa?!."

"Coraline.. Mama sayang kamu, walau kamu bukan anak mama. Tolong balas Jhi..Jhi."

"Mama! Jangan begitu ma! Jhi siapa? Siapa yang melakukan ini ma? Bertahanlah."

Aku memegangi leher mama yang mengeluarkan darah, aku menahan darahnya.

"Bertahanlah, mama! Jangan tinggal kan Coraline! Jangan !."

Mama menghembuskan nafas terakhirnya, aku menangis sejadi jadinya dan berteriak keras. Tak lama setelag itu, polisi dan tim medis datang kerumah. Mereka membawa jasad orangtua ku.

Aku diberikan pengecekan kesehatan oleh suster, dan dibawa masuk ke kantor polisi sebagai tersangka.

Aku masuk ke dalam ruang interogasi.

"Jadi, apa kau Coralinus Van Redrum?."

"Ya."

"Apa yang kau lakukan saat orangtua mu tewas?."

"Kau fikir aku yang membunuhnya? Hah?! Kau fikir aku yang membunuh mereka berdua?!."

"Kau satu satunya orang saat di TKP."

"Bukan berarti aku tersangkanya, Brengsek!."

"Lalu, apa yang kau lakukan di TKP?."

"TKP kau bilang? Itu rumahku, bodoh!."

"Mengapa kau memegangi leher nyonya Jessie Van Dresden?."

"Aku menghentikan pendarahannya."

"Lalu mengapa kau memegang pisau tajam sebagai barang bukti?." 

"Mana aku tahu kalau itu barang buktinya."

"Alasan yang tidak logis."

Aku menggeprak meja di depannya.

"Kau bilang kejujuran itu alasan? Hah! Kau fikir kau ini hebat dalam pekerjaanmu? Apa kau tak malu hidup dalam uang hasil suapan para tersangka?."

Kepala Polisi diam, lalu dia menamparku.

"Gadis tak tahu malu."

Aku melotot tajam pada nya, aku mencengkram tangan ku ke bawah.

"Kesalahan besar."

Aku mengangkat cengkraman tanganku keatas langit, lalu polisi itu mengeluarkan darah dari telinga nya sampai ia mati.

Tiba tiba beberapa polisi wanita membuka ruang introgasi dan memegangku, mereka membawa ku ke sel penjara.

CoralineWhere stories live. Discover now