Bab Empat

18 2 0
                                    

Aku berpaling pada Raja Tengkorak, pedang tergenggam erat di tangan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Aku berpaling pada Raja Tengkorak, pedang tergenggam erat di tangan. Pandangan ini mengabur. Sakit menusuk kepala. Telinga berdenging kencang. Hanya satu hal yang terngiang di benakku.

Saat itu aku sudah berlatih dengan Kak Anko sejak subuh sampai larut malam. Ini latihan terakhir, tapi aku masih belum menguasai jurus pamungkas klan kami. Terkapar di lantai dojo dengan sakit yang mendera seluruh badan, aku tidak bisa bergerak lagi. Kak Anko membawakan air minum. Dia duduk bersila, lalu tersenyum untuk membesarkan hatiku.

Tadashi, lupakan kritikan dan tuntutan dari tetua klan dan ayahmu. Selama ada setitik rasa ragu, kamu tidak akan bisa menguasai jurus ini. Karena rahasia jurus pamungkas klan ini, Tadashi... adalah mencurahkan seluruh jiwa dan raga pada hal yang kita perjuangkan.

Sejak pertama mengenalmu, aku bisa melihat ada sesuatu yang istimewa. Mungkin kamu hanya belum menyadarinya. Tapi aku selalu percaya, Tadashi... kalau kamu. Pasti. Bisa.

Saat itu nasehat Kak Anko hanya kusimpan sebagai penyemangat saja. Hari ini, di depan kepungan makhluk kegelapan, jauh di bawah perut bumi, tanpa ditemani orang-orang yang kucintai, akhirnya aku mengerti.

Putri Kaguya harus keluar dari tempat ini dengan selamat.

Apa pun yang harus kuberikan untuk memusnahkan pasukan tengkorak, itu adalah harga yang akan kubayar.

Tak terasa tubuh ini mengikuti perintah dengan sempurna. Aliran energi memenuhi pedang, membuat tanganku gemetar saat energi itu sampai pada puncaknya. Dengan hentakan keras, aku menebas si Raja Tengkorak.

"PEDANG CAHAYA!!"

Cahaya yang menyilaukan mengisi seluruh rongga gua. Dinding tebing batu bergetar keras saat cahaya itu meledak dan menghantam ke segala arah. Panas menyengat menyambar para monster dan membakar mereka. Ketika cahaya meredup, suasana kembali hening. Tidak ada monster yang tersisa.

Aku berhasil!

Terengah-engah, aku meletakkan kedua tangan pada lutut, bertumpu agar tidak jatuh. Ah... badanku terasa amat berat. Kepala ini berdenyut kencang. Tenaga sudah hampir habis. Aku mengerjapkan mata berkali-kali, melawan gelap yang menyelimuti pandangan. Pelan-pelan aku mengatur napas. Tugasku belum selesai. Aku harus mengecek keadaan Tuan Putri dan membawanya keluar dari sini.

Aku tertatih ke arah Putri Kaguya. Bumi masih terasa berputar. Aku tidak yakin bisa bangun dengan mudah kalau kehilangan keseimbangan dan jatuh. Jadi aku hanya berjalan pelan, maju selangkah demi selangkah. Refleks tubuh ini seperti mati rasa. Mungkin itulah sebabnya aku tidak mendengar ada serangan dari musuh.

Sengatan petir menghantam dari belakang.

Aku terlempar dan tersungkur di dekat kaki Putri Kaguya. Samar-samar kudengar Tuan Putri berseru kaget. Pandanganku memutih, kilatan cahaya berkejaran di kelopak mata. Otot-ototku kejang oleh aliran listrik bertekanan tinggi.

Sang PenerusWhere stories live. Discover now