Bab Tiga

23 2 0
                                    

Aku melanjutkan perjalanan, menggantikan tugas kusir kereta kuda di depan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Aku melanjutkan perjalanan, menggantikan tugas kusir kereta kuda di depan.

Hari sudah larut malam, sedangkan desa Sakuragi masih jauh. Sepertinya aku harus membatalkan rencana untuk menginap di sana. Tidak ada desa lain untuk tempat berhenti di sepanjang rute perjalanan kami. Tadinya aku ingin terus jalan semalaman, tapi lebatnya hujan membuat jalanan tergenang air.

Sudah dua kali kereta kuda kami hampir terperosok tanah yang jeblok. Tanpa bantuan Kak Anko dan kusir kereta, aku kesulitan untuk mengangkat dan mendorong kereta agar bisa jalan kembali. Selain itu, tidak adanya cahaya bulan menghalangi pandanganku ke jalan.

Tapi aku juga tidak ingin berhenti di tengah jalan terbuka. Hal itu hanya akan memancing perkara bila ada bandit yang lewat.

Akhirnya aku memutuskan untuk berhenti di daerah Gua Ngarai Bulan. Mulut gua itu cukup mudah untuk dijangkau dari jalan. Putri Kaguya hanya mengangguk singkat saat aku menjelaskan rencanaku. Aku memapah Kak Anko yang setengah sadar, sembari menuntun Putri Kaguya memasuki gua.

Bagian dalam gua hangat dan kering. Tumbuhan sejenis lumut yang berpendar tumbuh di sepanjang lorong masuk yang menurun. Kami berjalan dengan hati-hati. Tak berapa jauh dari pintu masuk, lorongnya kemudian melebar. Seberkas cahaya menerangi ujung lorong yang panjang. Ketika kami sampai di ujung, kami seperti memasuki dunia lain.

Langit-langit gua menjulang tinggi. Stalagtit dan stalagmit berserakan di sana-sini. Jalan di depan kami terbelah dua, dengan tebing batu yang tinggi di masing-masing sisi. Di tengah ada jurang menganga, diselingi dengan curahan air terjun yang deras dan aliran lava dari dalam gunung. Cahaya dari lava yang panas itu mengisi lorong dan ceruk kecil di sepanjang sisi tebing.

Aku mengambil jalan di sisi kiri. Dari hasil survei kemarin, jalanan di sini lebih lebar dan lebih mudah dilalui. Beberapa ratus meter di depan ada rongga di sisi tebing dengan dasar bebatuan yang datar, sehingga cocok untuk dipakai untuk beristirahat.

Aku merogoh dua selimut tebal dari ransel kedap air, kemudian menggelarnya untuk alas tidur Putri Kaguya dan Kak Anko. Setelah mereka berbaring dengan nyaman, aku patroli sebentar untuk memastikan keadaan di sekitar kami aman. Lalu aku membuat api unggun di dekat Kak Anko, di depan rongga gua.

Putri Kaguya tadi memakai handuk lebar miliknya untuk berlindung dari hujan. Aku juga memakaikan handuk untuk Kak Anko, tapi aku sendiri sudah terlanjur basah kuyup. Aku tidak bisa ganti baju. Aku sudah meninggalkan baju cadanganku di dalam kabin kereta kuda, supaya ranselku muat dengan sepasang selimut dan beberapa perlengkapan.

Dingin menusuk-nusuk tulangku, ngilu. Aku tidak bisa terus memakai baju yang basah semalaman. Aku mendesah, kemudian melepas jaket dan celana panjangku. Setelah itu aku menjemurnya di dekat api unggun.

Baju zirahku yang terbuat dari kulit tebal sebenarnya basah juga, tapi aku tidak ingin duduk dengan hanya memakai pakaian dalam, walaupun Putri Kaguya dan Kak Anko sudah tertidur.

Sang PenerusWhere stories live. Discover now