11 : KEKASIH

8.5K 633 33
                                    

Saat perayaan tahun baru adalah kesibukan paling tinggi di Hotel. Semua orang ingin urusannya serba cepat, istimewa, dan sempurna. Tuntutan yang datang dari tamu bahkan pegawai sekalipun berhamburan dengan kecepatan cahaya, menunggu keputusan yang cepat juga tepat.

Aku memang belum sepenuhnya memberikan keputusan-keputusan strategis atau krusial, aku tetap harus mendapatkan persetujuan dari para kepala divisi senior yang jauh berpengalaman daripada diriku. Tapi tidak jarang juga keputusan yang kuambil membuat situasi lebih baik dan terkendali dengan segera. Hal itu yang membuatku mendapatkan pengakuan dari para staff, kalau aku memang pemimpin yang layak untuk mereka. Perlahan, Aku diterima jadi bagian dari mereka bukan sekedar anak pemilik hotel.

Dengan kesibukan itu, waktuku bersama Ange jadi sangat kurang. Walau kami masih sering saling mengirim pesan atau saling menelepon, tetap saja hal itu tidak mengobati rasa rinduku pada Ange. Apalagi sekarang ini Ange sedang skripsi, membuatnya sibuk mengumpulkan data, juga tetap mengurus grup tari kesayangannya yang akan bertanding awal tahun ini.

Aku bahkan sangat jarang pulang karena memilih tidur di hotel supaya lebih cepat menyelesaikan pekerjaan kemudian langsung istirahat. Karena itulah aku tidak bisa bertemu Ange selama 2 minggu penuh. Aku sangat frustasi karena butuh bertemu dengannya. Aku butuh menatapnya dan mendengar suaranya. Menikmati tawa renyahnya yang menular. Jemariku bahkan rindu menyentuh kulitnya yang halus dan hangat, rambut merah bergelombangnya yang lembut dan wangi lemon segar yang menggoda dan nyaris menjadi jenis wangi yang membuatku ketagihan.

Aku bersandar sejenak sebelum memutuskan kembali ke kamarku untuk istirahat. Sebelumnya aku sudah mencoba menghubungi Ange, tapi satu pun pesan dan mis call dariku tidak ada balasa darinya.

Kesal melandaku dengan cepat. Kecurigaan membuatku dongkol dan kepalaku cepat memanas. Aku lelah dan butuh sedikit saja kasih sayang dan perhatian Ange. Apakah Skripsi dan Grup tari yang diurusnya lebih penting dari pada aku? Kekasihnya?.

Oke... Aku sudah mulai merasa seperti pacar posesif gila yang cemburu pada hal-hal kecil. Aku sadar aku mulai kembali seperti dulu saat berhubungan dengan Patricia. Aku pacar yang terlalu posesif dan protektif. Bahkan pada hal yang sangat remeh aku cemburu. Aku mulai mengekang diriku selama berhubungan dengan Ange. Sikap itu bukannya tidak pernah muncul saat bersama Ange. Tapi dia selalu menanggapi sikap posesif dan protektifku dengan santai dan sabar. Ia seakan menikmati semua perhatianku yang berlebihan.

Sial aku sangat merindukan Ange.

Aku memutuskan untuk kembali ke kamarku untuk istirahat. Berharap saat aku selesai mandi, aku bisa berhasil menghubungi Ange. Jika tidak, aku bersumpah akan mendatanginya detik itu juga.

Kamar yang menjadi jatahku untuk istirahat merupakan kamar yang memang selalu kupakai. Sebuah kamar presidential suit paling ujung koridor. Sedikit lebih kecil dari ukuran standard yang ada di hotel, tapi pemandangannya ke arah taman dan cukup memberikan privasi. Aku menyukainya dan kamar itu sudah menjadi rumah kedua bagiku.

Denting suara lift tanda aku sudah sampai ke lantai tujuanku berbunyi. Aku keluar dari lift dan menyusuri koridor sambil menunduk dan mengurut batang hidungku. Memejamkan mata sesaat sebelum secara insting aku akan sampai kekamarku dan mengeluarkan kartu kunci kamar dari saku jas.

"Kamu kelihatan lelah."

Aku tertegun dan mengangkat kepalaku.

Ange!

Aku takut ini hanya khayalan. Dia berdiri disana dekat pintu kamarku. Mengenakan dress hobo selutut, jaket denim, mantel panjang putih, syal merah, boot kulit selutut... Senyum mengembang di wajahnya lalu aku kehilangan akal.

Tanpa bisa kutahan, aku menghampiri, memeluknya dan otomatis nyaris membanting Ange ke pintu kamar. Menciumnya tanpa kelembutan sama sekali. Kasar, menuntut dan putus asa. Aku merindukannya seperti orang gila dan tidak bisa menahan hasratku lagi. Aku mengangkatnya hingga kakinya memeluk pinggangku mencari pegangan, aku meremas bokongnya, menekan tepat ke bukti gairahku. Gairahku yang langsung bangkit hanya dengan menatapnya.

Ange tidak menghindar, tidak menolak, tidak memperingatkan. Situasi ini berbahaya bagi mereka. Ia membalas semua hasratku sama besarnya. Aku tahu ia juga merindukanku. Aku tahu ia juga memendam hasratnya padaku. Dan demi Tuhan aku bersedia memberikan apa saja agar kami bisa menuntaskan hasrat yang mulai merong-rong ini.

Aku menjauhkan wajahku dan mencoba mengatur nafasku yang hampir membuatku tersedak. Menatap Ange. Sepertinya keputusan salah, karena aku lebih menginginkannya lagi. Wajah Ange memerah diliputi hasrat, bibirnya bengkak menambah sensualitasnya, sinar matanya penuh kabu kepasrahan, dan ekspresinya yang penuh gairah membuat pikiranku semakin hilang orientasi. Nyaris.

"Hentikan aku sayang, aku tidak mau kita menyesal setelahnya." Ujarku dengan suara serak.

Ange menatapku nanar dan manarik leherku, menciumku dengan cara menggebu, "Aku tidak pernah menyesal, asal itu kamu."

Aku menelan ludah, semakin sulit mengendalikan diri. Aku menatapnya mencari keraguan tapi yang kudapati hanya keputusan bulat.

Pintu kamar kubuka dan aku membiarkannya masuk dengan keputusannya sendiri. Kami sama-sama menyadari, ini keputusan kami.

Pintu tertutup.

Aku sedang menikmati kekasihku.

[BERSAMBUNG]

ALWAYS YOUWhere stories live. Discover now