10 : IMPIAN

7.2K 631 24
                                    


Texas merupakan salah satu kota penuh kenangan untukku. Disinilah aku mengenal cinta pertamaku. Walau berakhir mengecewakan tapi ada banyak kenangan yang mengalir di kota ini. Aku memiliki banyak teman dan kenangan remaja disini. Selain warganya yang ramah, lingkungannya menyenangkan. Hanya satu yang ku sesalkan, aku lupa pada Ange. Padahal akulah yang menyelamatkannya. Aneh bukan?.

"Belok kiri di depan sana." Suara Ange mengeluarkanku dari lamunan. Kami baru mendarat 20 menit lalu dan butuh kurang lebih 40 menit menuju peternakan milik keluarga Ange. Mobil jeep yang kusewa, cukup nyaman walau aku harus membiasakan diri dengan sistem kopling. Aku terbiasa dengan sistem mobil matic. Jadi aku membawa mobil ini lebih lamban dari biasanya. Meski Ange menawarkan diri menyetir, tapi aku tidak mengijinkannya.

"Jangan gugup, keluargaku tidak akan membunuhmu." Ange salah mengira aku lambat menyetir karena gugup bertemu keluarganya. Yah well siapa yang tidak gugup?. Dia punya 1 ayah yang pasti super protektif. Dan dia punya tambahan 2 kakak lelaki yang katanya cukup akrab dengannya. Aku tidak butuh tambah keluarga protektif lain selain Kakek dan Ayahnya. Tapi paket Ange termasuk 2 kakak lelakinya, jadi aku harus menyiapkan diri.

"Aku hanya nggak terbiasa dengan mobil manual ini. Aku berusaha menjaga nyawa kita tetap aman Red." Aku menoleh pada Ange dan mengedipkan mataku untuknya.

"Kamu pikir aku percaya itu?," dengus Ange angkuh.

****
"Ini ibuku, ayahku, dan kakakku Gabe dan Mike."

Ada 3 mata hijau dan 1 mata coklat menatapku di ruang tamu luas tanpa sekat khas rumah peternakan. Mereka menelanjangiku hanya lewat tatapan. Tanpa malu atau sungkan. Aku hanya bisa pasrah menerima pengamatan itu dengan tetap memasang senyum tipis dan sikap percaya diri yang sanggup aku pertahankan.

"Astaga maaf, harusnya kami tidak membiarkamu berdiri seperti ini," ibu Ange yang ternyata menurunkan mata sewarna permata zambrut ke semua anaknya, akhirnya tersadar dan tersenyum ramah menyambutku.

"Hanya saja, baru kali ini Ange mengajak pacarnya datang berkunjung. Ayo duduk dan istirahat sebentar, tadi perjalan jauh kan?." Ibu Ange mempersilahkanku duduk sambil menyikut lengan ayah Ange sebagai agar menyambutku dan bukannya hanya mengamati.

Tapi sepertinya 3 pria di keluarga Ange sama sekali tidak mengendurkan pengamatan tajam mereka terhadapku. Aku hanya sanggup tetap tersenyum tipis menghadapi mereka. Ada 3 tambahan pria protektif lagi di hidup Ange yang harus kuhadapi. Ayah dan 2 kakak lelakinya selain kakek yang sama protektifnya.

Pria tua yang terihat lembut di NY itu hanya mengatakan, "jika kau sudah menikmati Angeku, ingatlah untuk bertanggung jawab. Jangan jadi pria pengecut." Kata-katanya berisi kata-kata sinis, tajam, dan lebih vulgar dari yang pernah kupikirkan. Menamparku hanya dengan kata-kata yang sangat jarang kudapatkan. Tapi kakek Ange telah mengatakannya sejak kami bertemu pertama kali, membuatku selalu sadar dalam memperlakukan Ange.

***

Setelah memperkenalkan Ange pada keluargaku, aku kemudian diperkenalkan kepada keluarganya saat ia pulang ke Texas ketika Thanksgiving. Tentu saja aku terkejut ia memiliki 3 orang pria super protektif lebih parah dari pada sang kakek. Ayahnya dan 2 orang kakak lelakinya sudah siap menelanku hidup-hidup setiap waktu seharian itu agar aku kesal dan pergi. Mengujiku sudah pasti. Mereka tidak perduli walau aku pewaris jaringan hotel terkenal, mereka hanya melunak saat tahu akulah penyelamat Ange 5 tahun lalu.

Lagipula aku sudah siap dan bertekad kalau aku tidak akan menyerah. Karena aku tidak dididik oleh orangtuaku sebagai anak manja. Mereka mendidikku agar tumbuh sebagai gentleman, menghargai dan menghormati wanita, juga orang yang lebih tua dariku.

Hari kedua di rumah Ange, aku menikmati matahari terbit dari beranda rumahnya, kopi panas di tangan, udara dingin diiringi angin yang membawa aroma tanah juga bunga matahari dan jagung yang belum selesai di panen. Suara sapi dan kuda terdengar samar dari arah kejauhan hingga ayam berkok yang menyambut pagi. Suasana peternakan yang baru kunikmati. Tempat Ange besar dan menjalani semua kehidupan bebasnya. Aku nyaris bisa membayangkan gadis kurus berambut merah memanjat pohon di depan rumah ini, berlarian mengejar kakak-kakaknya di halaman luas ini, membantu ibunya berkebun bunga mawar dan daisy di pekarangan asri ini. Angeku yang luar biasa, tumbuh karena ini semua, aku mengerti sekarang dari mana semangat dan keberaniannya berasal.

"Ternyata anak kota sepertimu bisa bangun pagi juga." Tegur Gabe.

Aku menoleh dan memberinya senyum tipis. Aku tidak mau capek-capek menjelaskan kalau aku biasa bangun jam 5 pagi hanya untuk lari atau tugas hotel yang selalu menuntut ekstra waktu.

"Tempat ini luar biasa. Sayang melewatkan matahari terbit di tempat seindah ini." Aku menjawab santai mengabaikan sindiran Gabe.

"Yeah. Aku selalu merindukan tempat ini jika sedang dinas. Aku beruntung bisa pulang untuk Thanksgiving tahun ini," Gabe mengangguk setuju dan mengamati seluruh tempat ini penuh rindu.

"Apa kau menyesal masuk Angakatan Laut?." Aku merasa seakan profesi itu jauh Dari seorang anak yang tumbuh di peternakan.

Gabe menggeleng tegas. "Tidak. Dari dulu aku selalu ingin tahu soal laut, anggaplah aku bosan di peternakan dan ingin menjelajahi banyak tempat baru. Menjadi tentara membuatku pergi ke banyak tempa." Gabe menyeringai santai sebelum menyeruput kopinya lagi.

"Jadi hanya Mike yang meneruskan peternakan ini?."

"Orangtua kami tidak pernah memaksakan hal semacam itu. Mereka membebaskan kami meraih impian kami. Aku berkeliling dunia, Ange membela kebenaran, Mike... dia bermimpi memberikan makanan yang baik untuk semua orang. Jadi Mike masuk Harvard, dan belajar jadi peneliti. Ternyata bekerja di perusahaan tidak membuatnya betah. Dia memutuskan pulang, bertani dan membuat penelitian sendiri soal pangan. Sekarang ia memiliki hak paten untuk beberapa bibit unggul jagung, sistem pembiakan sapi penghasil susu, dan sumber daya alternatif dari limbah jagung. Jadi, ini adalah tempat ia berkarya, bukan sebagai pewaris tapi impiannya."

Penjelasan Gabe menyadarkan aku dengan telak bahwa selama ini aku menjalankan segalanya dengan motif bahwa aku adalah seorang pewaris. Ada beban tanggung jawab membebani dalam menjalankan apa yang kulakukan sekarang. Tapi aku lupa dengan impianku sendiri.

Aku selalu bermimpi ingin menjadi pebisnis handal. Itu sebabnya aku selalu belajar dari ayah dan ibuku, mempelajari cara mereka menjalankan jaringan hotel yang luar biasa sibuk. Tapi aku ingin memulai bisnisku sendiri, dan membuatnya sukses. Sebuah hotel milikku sendiri.

"Disini kalian rupanya, ayo sarapan." Ange muncul dengan wajah penuh senyum dan mengajak kami masuk. Gabe masuk lebih dulu, menyusul aku yang merangkul Ange dan memberinya kecupan selamat pagi di pipinya. Menatap ekspresi bahagianya yang ada ditengah kelurganya. Senyumnya cerah membuatnya terlihat semakin cantik.

Impianku bertambah, aku ingin melihat wajah ini selama sisa hidupku.

***

Kami kembali ke NY dan aku sudah bisa memulai percakan dan pendekatan normal terhadap keluarga Ange. Setidaknya, aku memulai hubungan ini tanpa hambatan.

Hingga aku kembali ke hotel dan menerima booking list dari tamu VIP bulan depan. Aku tidak mengira hal ini aku lupakan. Sesuatu yang aku abaikan sejak mengenal Ange.

Sesuatu yang mengancam hubunganku dengan Ange.

[BERSAMBUNG]

ALWAYS YOUWhere stories live. Discover now