4 : IMPRESI

8.8K 783 39
                                    

Keluargaku bukan orang miskin. Aku pastikan hal itu bukan dengan nada sombong, kami tidak hidup kekurangan dan fasilitas yang kami miliki disediakan oleh orangtua kami dengan sangat layak. Rumah kami di Dallas cukup besar ditengah tanah luas yang jumlahnya berhektar-hektar. Hanya saja aku dibesarkan di peternakan dan suasana desa sederhana juga keras. Aku dan kedua kakak lelakiku terbiasa hidup di alam dan kami terbiasa hidup sederhana walau tercukupi. Intinya, aku ini orang kampung yang cukup kaya.

Jadi ketika aku sampai di hadapan rumah kelarga Ascott yang besar dan mewah bagai istana jaman kolonial. Aku tersedak. Ini sungguh-sungguh rumah untuk bangsawan, bahkan letaknya ada di tebing bagai sebuah puri!. Aku terperangah. Menelan ludah, aku nyaris membalik tubuhku untuk pergi. Aku hanya diam dan mencoba mendebat diriku untuk tujuan apa aku kesini?.

Well, akhirnya aku menarik nafas dan menghembuskannya dengan gugup sebelum menekan tombol bel gerbang tinggi itu. Sebuah suara terdengar dari intercom dan aku menyebutkan namaku serta tujuanku. Dan tak lama kemudian gerbang tinggi itu terbuka otomatis. Wow, mewah dan canggih.

Halamannya sangat luas, perlu sekitar 10 menit menempuh rumah utama menyusuri jalan setapak pasir lembut dengan disuguhi taman indah yang tertata rapi lengkap dengan air mancur dari patung aquarius pualam abu-abu. Perasaan tegang yang kurasakan sedikit berkurang karena pemandangan indah yang menenangkan ini. Aku sedikit merasa seperti dirumah. Pohon besar, rumput hijau dengan bau embun segar, udara pagi sejuk dan sinar matahari yang menelusup dari sela-sela dedaunan.

Lalu aku sampai dihadapan rumah putih itu. Aku memaksa diri untuk menaiki undakan batu marmer putih kekuningan dan sebelum jemariku mengetuknya, seorang wanita tengah baya hispanik manis bertubuh montok sudah membukakan pintu untukku dan tersenyum tenang.

"Siapa itu Mrs. Munez?". Suara Trev terdengar dari arah belakang wanita itu.

"Katanya teman Miss Abby, tuan muda. Miss Ange." pelayan wanita menoleh tanpa membiarkanku masuk.

Tidak lama kemudian Trev lah yang menggantikan posisi Mrs. Munez dan langsung membentangkan pintu kayu ukir yang indah itu. Wajah Trev terlihat lelah dengan lingkar hitam di bawah matanya. Tapi ia tersenyum cerah padaku. Mungkin malah terlihat sangat senang melihatku. Mungkin hanya perasaanku saja.

Sial, jantungku langsung berdetak kuat. Aku yakin aku merona karena Trev memandangiku kian tajam.

"Hai Ange, masuklah," sapa Trev akhirnya.

Aku tersenyum dan masuk sambil menggumamkan selamat pagi dengan nada ringan. Aku semakin terperangah dengan bagian dalam rumah itu dan tidak bisa berhenti mengaguminya.

“Ehm, Abby sedang mandi. Ayo kita tunggu di ruang tamu. Sebelah sini." Trev menyentuh punggungku sopan dan menunjukkan jalan.

"Apa dia sudah baik-baik saja?. Apa yang terjadi padanya?," rasa penasaranku akan rumah yang indah itu kalah oleh rasa cemas akan Abby dan sentuhan ringan Trev di punggungku membuatku merinding hingga kulitku meremang dengan sangat cepat hingga nyaris membuatku mengerang senang.

Trev memandangku penuh selidik. Aku mengerutkan kening. "Kenapa menatapku begitu, Apa Abby..."

"Abby sudah lebih baik," sahut Trev cepat terlihat tidak ingin membuatku lebih cemas.

Terus kenapa tidak langsung menghubunginya atau sms sih?, kan Trev sudah tahu nomorku, jadi aku tidak harus merasa bersalah sepanjang malam walau lebih banyak merasa gugup karena akan ke rumah Trev. Aku ingin sekali membentak Trev tapi tersadar, mungkin cowok ini terlalu lelah menjaga sepupunya. Aku sendiri belum puas kalau belum melihat kondisi Abby dengan mata kepalaku sendiri.

Kami memasuki ruang tamu. Ruangan itu memiliki pemandangan menakjubkan kearah laut. Indah sekali. Udara yang masuk melalui jendela besar terbuka begitu segar.

ALWAYS YOUDonde viven las historias. Descúbrelo ahora