Protektif

82.5K 4.2K 22
                                    

Seminggu sudah kejadian itu berlalu. Kejadian memilukan yang bahkan aku sendiri enggan mengigatnya. Kejadian yang membuatku berkali kali merutuki diriku sendiri. Kenapa aku begitu bodohnya? Kenapa Vania Clara Pitaloka? Kenapa lo bodoh banget? Bahkan keadaan yang lo alami ini adalah hasil perbuatan lo sendiri.

"Kenapa melamun?" Suara bariton itu berhasil membuatku tersadar dari lamunan. Aku memutar bola mataku jengah, sial! Karena kesalahanku sendiri, kini aku justru sedang duduk berdua dengan pria arogan ini di sebuah restoran bintang lima.

"Nggak. Bukan urusan lo." Ketusku karena terlalu muak padanya. Entah kenapa sejak malam perjodohan itu, Bara selalu saja mengekoriku. Bahkan kemana pun aku pergi.

"Ini memang bukan urusan saya, Vania. Tapi seenggaknya saya memastikan kalau kamu baik baik saja." Jawabnya dengan nada so menasihati. Please deh, gue gak butuh nasihat dari lo, Bara!

"Kenapa sih lo ngikutin gue mulu? Gue itu pengen bebas. Lo dibayar berapa sih sama bokap gue hah?"

Bara hanya diam, lantas memandangku lekat. "Saya nggak dibayar sepeserpun sama ayah kamu. Saya melakukan ini karena hati saya. Sebelum kita menikah, saya ingin menghabiskan waktu dengan kamu, Vania. Ya itung itung pendekatan agar bisa memahami satu sama lain."

Ogah banget gue mahami lo. Lagian siapa sih yang mau nikah sama lo? Sono nikah aja sama kambing atau nggak sama boneka kesayangan gue tuh. Kasihan, dia jomblo udah 24 tahun dari sejak gue masih kecil.

"Denger ya Mas Bara yang terhormat. Gue gak mau nikah sama lo. Inget itu! Gue sama sekali nggak cinta sama lo." Aku bicara dengan nada nyolot pada Bara.

Bara kembali menatapku lekat, lantas dia mencondongkan badanya hingga jarak wajahnya dengan wajahku sangat dekat.

"Kamu tidak ingat , Vania. Kamu sendiri yang meminta saya untuk jadi pacar kamu. Kamu ingat kan? Jadi, jangan salahkan saya jik sikap saya terlalu over, saya cuma ingin jadi pacar yang baik buat kamu." Jawabnya dengan nada nyeleneh.

Seketika aku merutuki diriku kembali. Arggg sial! Bodoh! Bodoh! Bodoh!
Pengen rasanya aku menjedotkan dahiku sendiri ketembok. Kalau perlu sampai amnesia agar aku bisa melupakan kejadian paling buruk dalam hidupku ini. Sungguh, hayati udah gak kuat.

"Terus, lo mau sampai kapan kaya gini hah? Ngikutin gue kaya bodyguard. Sampe temen temen gue aja takut sama lo. Gak sadar apa kalo punya badan gede?" Ucapku karena terlalu kesal.

Aku lantas beranjak dari duduku. Bersiap untuk melenggang meninggalkan Bara. Tapi secepat kilat juga Bara menghadangku. "Kamu mau kemana, Vania?" Tanyanya.

"Yaelah. Minggir nggak? Gue mau lewat. Awas!" Aku mencoba menerobos tubuh Bara. Tapi sial, justru aku yang terpental. Aku sempat mikir, ini badan atau beton? Keras banget.

"Kamu mau kemana dulu? Kamu nggak boleh pergi tanpa sepengetahuan saya Vania. Sekarang kamu jadi tanggung jawab Saya. Saya yang bertanggung jawab kalo terjadi apa apa sama kamu."

Aku memutar bola mataku jengah. Rasa kesal dan marah bercampur aduk dibenaku. "Gue mau ke kamar mandi. Lo mau ikut juga?" Tanyaku nyeleneh.

"Awas minggir!" Kini Bara dengan sukarela memberikan jalan untuk aku pergi. Rasanya lega. Aku tau, Bara tidak akan berani mengekori ku jika aku sudah bilang ingin ke kamar mandi. Dia kan orangnya alim, ralat, sok alim maksudnya.

Sesampainya dikamar mandi, aku langsung menutup pintunya dengan keras. Aku mengamuk sejadi jadinya disana. "Arggg Vania! Lo punya otak kok kapasitasnya kecil banget sih?! Liat, semua ini terjadi karena ulah lo juga?! Kenapa lo malah minta bantuan sama Bara?! Padahal Bara itu laki laki yang mau dijodohin sama lo! Kalo udah kaya gini lo mau buat apa hah?" Aku mengacak rambutku frustasi. Aku benar benar kesal pada diriku sendiri.

Aku menatap pantulan wajahku dicermin, aku baru ingat kalau ini semua tidak sepenuhnya murni kesalahanku. Ini semua terjadi juga karena ada campur tangan dari Ratna. Dia yang telah memberikan solusi menyesatkan ini hingga aku terjerumus dalam keadaan ini. Ya! Dia salah satu orang yang telah membuat kehidupanku berubah drastis begini!

Aku langsung merogoh tas kecilku untuk mengambil ponsel. Aku langsung mencari kontak Ratna di ponselku dan lalu menelponnya.

"Halo, Na."

"Iya Halo Van. Ada apa ? Tumben lo nelpon gue?"

"Gue perlu ketemuan sama lo," balasku dengan nada dingin.

"Tumben. Lo kangen ya sama gue?" Godanya padaku.

Bukan kangen. Gue justru pengen cabik cabik muka lo sampe jadi buruk rupa, Na.

"Gue tunggu lo di Cafe Bintang jam 4 sore. Lo harus dateng. Ini penting."

"Tapi--"

Tut tut
Belum sempat Ratna menyelesaikan perkataanya. Aku sudah duluan menutup telponnya. Lebih tepatnya aku tidak ingin emosi ku terpancing dan membuat rencanaku untuk membuat wajah Ratna buruk rupa gagal. Aku kembali memasukan ponselku ke dalam tas lantas melenggang keluar kamar mandi.

Aku berjalan mengendap ngendap menuju pintu keluar. Ini kesempatanku untuk kabur dari Bara. Mumpung dia tidak ada didekatku. Kepalaku terus tengok sana tengok sini memastikan tidak ada Bara agar aku bisa kabur. Tiba-tiba ketika aku akan melanjutkan langkahku, Aku merasa kepalaku menyeruduk sebuah tembok beton. Rasanya sakit, hingga aku beberapa kali memekik menahan sakit dikeningku. Aku melirik ke arah depan, memeriksa benda apa yang telah aku tabrak tadi. Mataku membulat, mulutku menganga lebar ketika melihat Bara yang sudah berdiri sempurna di hadapanku.

"Mau kemana, Vania? Kabur?" Dia menaikan alisnya.

Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Lantas menyunggingkan cengiran kudaku. "Nggak kok. Kata siapa? Orang gue tadi liat ada tikus, jadi gue wanti wanti gitu deh."

Bara terlihat terkekeh kecil, lucu mungkin karena mendengar alasanku yang tidak logis. "Lo kenapa sih ada disini? Lagian gue gak akan kabur kali. Takut banget sih kalo gue sampe kabur." Aku mengerucutkan bibirku kesal.

"Apa saya bisa pegang omonganmu, Vania? Bukanya nggak percaya, tapi saya wanti wanti saja. Kadang kancil yang udah kena tali perangkap pun masih bisa melarikan diri. Iya kan?" Tanyannya padaku. Lebih tepatnya dia sedang menyindirku walau memakai kata kata perumpamaan.

Sial! Gue disamain sama kancil! Lah lo sendiri kaya Banteng! Punya bada gede banget! Nyeremin juga!

"Udah gue balik. Males gue disini. Apalagi bareng sama lo, bikin gerag hati." Aku mengibas ngibaskan telapak tanganku untuk menciptakan hawa dingin. Aku berusaha menyindir Bara balik.

Bara hanya menggeleng gelengkan kepalanya seraya terkekeh. "Lo mau nganterin gue pulang atau tetep diem disini sambil ketawa ketawa gak jelas kaya orang gila? Kalau nggak gue bakal pesen taksi aja."

"Nggak usah. Saya yang akan antar." Balasnya.

"Cepetan makanya." Aku langsung melenggang meninggalkan Bara di belakang. Tak habis pikir. Kenapa papa sama mama menjodohkan ku dengan lelaki macam Bara? Gak ada laki laki lain apa selain Bara? Ahh mama sama papa memang kejam kepadaku, apa ini ajang pembalasan mama sama papa karena aku sering gak nurut sama mama papa? Tapi kalopun iya, hukuman ini bahkan terlalu berat, aku bahkan nggak akan kuat. Tenggelamkan saja aku di bendungan katulampa, Ma, Pa.

✈✈✈

Tbc
Masih mau lanjut??😆

Our Destiny [You're Perfect Pilot ✔]Where stories live. Discover now