Delapan: Jadi, begitukah?

262 23 62
                                    

Yah ... harus kuakui, setelah menghadiri acara wisuda 'kak Haka' depan tahun silam, kehidupanku jauh lebih tenang. Ayah tak lagi merongrong untuk memintaku bertemu dengan keluarga tercintanya, walau masih sering mengirimkan pesan. Jika hanya pesan, tak masalah bagiku, toh, asal balas juga cukup.

Tapi, seiring dengan usiaku yang bertambah kala itu, tak dapat kupungkiri rasa penasaran yang semakin menjalar di benakku. Mungkin karena terlalu benci, dan aku ingin menemukan alasan untuk lebih membenci. Aku ingin membenarkan kebencian yang kumiliki untuk ayah dan mereka. Ya, mereka, yang sebisa mungkin tak ingin kusebut namanya. Sekarang, darimana harus kumulai? Hmm ... oh iya, paman Danu! Ayah kan cukup dekat dengan paman Danu, pasti paman Danu tahu mengenai hal ini. Semoga aku masih menyimpan nomor ponselnya.

Aku segera mengambil ponsel di atas meja belajarku, mencari nomor paman Danu, sepupu ayah yang dulu sering berkunjung ke rumah ketika kami masih begitu harmonis. Sudah lima tahun aku tak bertemu dengannya, semoga saja nomornya masih aktif dan paman tak keberatan berjumpa denganku. Syukurlah, terdengar bunyi panggilan yang tersambung di ponselku.

"Halo, selamat sore," sapa suara di ujung telepon.

"Sore, Paman. Ini Raana, paman apa kabar?"

"Oh, hai Raana! Sudah lama ya kita nggak ngobrol. Raana apa kabar, sekarang?"

"Baik, Paman. Paman apa kabar?"

"Paman juga sehat. Gimana sekolahnya?

"Sekolah? Beresss. Oh iya, Paman sibuk nggak?"

"Kenapa? Mau ketemu Paman, ya?"

"Iya."

"Kalau sekarang sih nggak bisa, besok aja ya. Kita ketemuan di tempat dulu kita sering makan es krim."

"Ih, Paman, Raana kan udah kelas dua SMA."

"Tapi masih suka es krim, kannn. Stroberi alpukat kan?"

"Masih, sih ...." Paman tekekeh di ujung telepon.

"Oke, besok ketemuan di sana ya, jam 2."

"Siap, bos!"

Aku menutup telepon dengan perasaan puas dan bahagia. Ternyata, walau sudah lama tak berkomunikasi, paman Danu tidak sedikitpun menunjukkan rasa canggung. Aku anggap ini sebagai pertanda baik, bahwa besok aku akan mendapatkan kebenaran mengenai semua yang ingin kuketahui selama ini.

Aku teringat ibu. Aku belum menemuinya sejak pulang sekolah tadi. Kegiatan di sekolah sangat padat, menguras habis tenagaku. Membuatku langsung merebahkan diri ke kasur begitu sampai di kamar tidur. Bahkan aku belum mengganti seragam sekolahku. Mengambil handuk dan bathrobe, aku pun mandi. Saat mandi, pikiranku melayang tentang bagaimana aku akan memulai pembicaraan mengenai ayah besok. Ah, sudahlah. Lihat saja besok.

Setelah berpakain usai mandi, aku turun mencari ibu. Kucari ke kamarnya, ia tidak ada. Ruang keluarga kosong dengan TV yang masih menyala. Hmm ... ibu pasti lagi di dapur kalau TV ditinggalkan menyala. Dan benar, saat semakin dekat dengan dapur kulihat bayangan ibu bergerak-gerak.

"Ibu mau bikin apa? Kasihan TVnya, Ibu tinggalin sendirian."

"Hei, sayang. Ibu lihat iklan kue tadi, jadi kepikiran pingin buatin kamu cemilan."

"Raa bantuin ya, Bu." Aku mengambil tempat di samping ibu.

"Bu, besok Raa mau ketemuan sama paman Danu. Boleh, ya?"

"Danu sepupunya ayah?"

"Iya. Boleh?"

"Boleh dong, sayang. Dia kan paman kamu. Sampaikan salam ibu buat Danu, ya."

Lovely Little Sister [SUDAH TERBIT]Where stories live. Discover now