Satu: I'm Here

774 63 118
                                    

Pagi yang cerah, tapi Raana bangun dengan malas. Hari ini ia harus menghadiri rapat di sekolah barunya. Rasa malas terus menggelayutinya, tapi dipaksakan tubuhnya untuk bergerak menuju kamar mandi yang menyatu dengan kamar tidurnya.

Ia menatap pantulan dirinya di cermin. Tersenyum dengan sumringah mengerikan yang tak sesuai dengan wajah manisnya.

"Yah... akhirnya hari ini datang. Karena kau telah memulainya, Raana, jadi kau harus bisa menyelesaikannya dengan baik," ucapnya pada pantulan tersebut. Ia memastikan semua telah siap sebelum ia meninggalkan kamarnya, mengambil tas selempangnya, dan melangkah keluar dengan penuh percaya diri.

Raana memarkirkan mobilnya di area parkir SMA Putih Abu-abu. Area parkir cukup lenggang karena siswa masih libur.

"Okay, here we go. Chin up, baby. And face the world." Ia keluar dari mobil, melangkah menuju bangunan utama sekolah. Kedatangan Raana disambut dengan seseorang berpakaian satpam yang duduk di meja piket.

"Selamat pagi, Pak. Saya Raana Angela, guru Bahasa Indonesia yang baru."

"Oh, iya. Silakan langsung ke ruang guru, mbak." Raana berjalan mengikuti arahan pak satpam.

Pas sekali, batinnya. Rapat baru akan dimulai ketika ia memasuki ruangan tersebut. Ada sekitar belasan orang di ruangan tersebut yang ia yakin merupakan rekan kerjanya sesama guru. Di depan, duduk seorang pria berusia sekitar awal tiga puluhan, dengan kemeja lengan pendek berwarna biru gelap. Seorang yang cukup belia untuk ukuran kepala sekolah, menurut Raana. Pria tersebut membuka rapat.

"Selamat pagi, guru-guru sekalian. Seperti yang kalian ketahui, saya di sini menggantikan kepala sekolah yang sedang mengikuti kegiatan Effective Leadership, dan baru akan kembali dua minggu lagi. Bagi guru-guru baru, perkenalkan, nama saya Haryo Kasuma, guru Matematika sekaligus Waka Kesiswaan di sekolah ini."

"Saya yakin bapak, ibu guru sekalian sudah tahu kenapa hari ini kita berkumpul di sini, karena itu saya akan langsung saja memulai acara kita pada pagi ini," lanjutnya.

Raana memperhatikan pria yang sedang berbicara. Tinggi, berkulit putih bersih, badannya tegap, dan berwajah oriental. Ia juga memiliki mata coklat gelap yang hangat. Tampan, itulah kesan pertama yang tampak dari penampilan pria tersebut. Tapi Raana sama sekali tak menunjukkan ketertarikan pada pria tersebut, ia bahkan menatapnya sinis dengan senyum yang mencemooh. Sepertinya hidupmu sangat baik. Aku rasa kau juga sangat bahagia. Bukan begitu, tampan? batinnya tanpa mengalihkan pandangan dari pria tersebut.

Rapat cukup membosankan dengan segala rancangan tahun ajaran baru, juga pembagian tugas dan hal remeh lainnya. Bagi Raana, rapat adalah hal yang harus ia hindari sebisa mungkin. Apalagi rapat-rapat seperti ini, baginya hanya menghabiskan waktu. Tapi, hal remeh itu pun memakan waktu seharian hingga hampir tiba waktu makan siang.

Walau membosanakan bagi Raana, rapat berjalan dengan lancar. Ia mendapat tugas mengajar kelas X (umum) dan XI IPS yang berjumlah tujuh kelas. Total kelas yang ada sebenarnya lima belas rombel (rombongan belajar), tapi Raana hanya mendapatkan tujuh kelas karena ada dua guru Bahasa Indonesia di SMA Tunas Bangsa.

Usai rapat, Haryo mengajak seluruh dewan guru untuk makan siang di sebuah restoran seafood. Di sana, Raana, dan dua guru baru lainnya, diminta untuk memperkenalkan diri. Guru pertama, Amara, mengajar Bahasa Perancis. Tingginya sekitar 150 senti meter, memiliki tubuh yang padat juga tonjolan-tonjolan yang cukup untuk membuat para pria tergiur dalam sekali lirikan. Rambutnya berwarna chesnut dengan mata coklat terang. Guru kedua bernama Joseline, guru Sosiologi. Tinggi semampai, sekitar 170 senti meter, dengan kacamata berwarna pink bertengger di hidung mancungnya, juga tatapan tajam dari sepasang manik berwarna coklat kehijauan di matanya. Dari perkenalannya diketahui bahwa ia memiliki sedikit darah Latin, dan itulah yang membuat semua paham bagaimana ia bisa mendapatkan kulit berwarna coklat keemassan seperti kayu manis tersebut. Dan berikutnya, tentu saja, Raana. Gadis dengan tinggi sekitar 160 senti meter berambut coklat gelap sebahu, dengan warna mata sedikit lebih terang dari rambutnya dan warna kulit kuning langsat.

"Selamat siang, semuanya. Saya Raana Angela, guru Bahasa Indonesia lulusan IKIP Budi Utomo Malang. Teman sejawat sekalian bisa memanggil saya dengan sebutan Raana. Saya harap saya bisa diterima dengan baik dan rekan-rekan sekalian bisa membantu saya beradaptasi di lingkungan baru ini. Terima kasih."

"Jikalau boleh tahu, berpakah umur saudari Raana?" Bagio, guru Sastra Indonesia, mengajukan pertanyaan.

"Saya rasa itu tidak perlu dibahas." Raana berusaha menjawab dengan sopan.

"Sudah menikah? Atau sudah punya pacar?" Arya, guru penjaskes menimpali.

"Belum, dan saya tidak punya pacar." Raana menjawab dengan senyum tipis.

"Ah, elu, Ya, gak bisa liat yang bening-bening. Maen sambar aja!" Celetuk Rian, guru kimia.

"Enggak ada salahnya kan, toh orangnya enggak keberatan. Iya kan, bu Raana?" Arya mencari pembelaan.

"Iya. Enggak apa-apa, kok."

Masing-masing guru sibuk menyantap makanannya sesaat setelah hidangan disajikan. Raanapun berkutat dengan menu yang telah dipilihnya. Fokusnya pada makanan pecah ketika ia merasakan ada mata yang memperhatikannya, dari salah satu deretan bangku berisi para guru lelaki di seberang mejanya. Tatapan itu terasa cukup tajam mengawasi gerak-geriknya entah dengan tujuan apa. Raana bersikap seolah tak merasakan apa-apa, menyembunyikan fakta bahwa ia mengetahuinya dengan menyendok kembali makanannya. Tapi mata itu sama sekali tak mengalihkan pandangannya. Merasa terlalu lama diperhatikan, Raana mulai gerah. Ia mencoa mengalihkan rasa risihnya dengan melemparkan candaan kepada semua dewan guru yang hadir dan mengikuti arah obrolan rekan-rekannya.

"Kamu kelihatannya supel sekali ya, gampang berbaur dengan yang lain." Haryo, yang sedari tadi memperhatikan Raana, menyusul langkahnya yang berjalan menuju area parkir.

"Biasa aja," jawab Raana singkat.

"Kita belum kenalan secara langsung. Aku Haryo." I know, batin Raana saat menyambut uluran tangan Haryo.

"Raana."

"Semoga kita bisa bekerja sama dengan baik, ya." Raana menjawab dengan senyum manis yang dipaksakan.

"Mobil saya di sebelah sana, saya duluan ya," ujar Raana berusaha menyudahi pembicaraan. Haryo menyapukan matanya, mengikuti setiap langkah Raana menuju mobilnya. Langkah cepatnya terlihat begitu ringan, seolah-olah ia akan terbang. Rambutnya yang terurai, tertiup semilir angin dan menari bersamanya. Haryo menatap lekat, hingga langkah itu ditelan mobil berwarna hijau metalik dan menghilang dari pandangannya.

**

Raana melangkah cepat menuju mobilnya. Menutupnya dengans sedikit kasar, seolah itu bisa menghilangan luapan emosi yang berusaha ditahannya. Ia mengaduk-aduk laci dashboardnya, mencari sesuatu yang biasa ia simpan di sana. Tangannya kemudian menemukan botol kecil yang sedari tadi dicarinya. Ia mengambilnya, dan menyemprotkan cairan sanitizer di dalamnya sebanyak mungkin ke telapak tangannya.

"Dia pikir dia siapa," umpatnya sambil menggosok kedua tangannya. Raana menyalakan mesin mobil dan melarikannya agar dapat segera meninggalkan area restoran, lebih tepatnya Haryo. Ia muak melihat pria itu.

Lovely Little Sister [SUDAH TERBIT]Where stories live. Discover now