Part 5. Menerima apa adanya

180K 13.5K 129
                                    

5. Menerima Apa Adanya


Kennan melirik jam yang melingkar apik di pergelangan tangan kirinya. Mendesah berat ketika jarum jam menunjukkan pukul empat sore. Dia lupa makan siang, terlalu sibuk dengan berbagai pekerjaan yang lambat laun semakin menguras waktunya.

Dan perlahan, dia pun merindukan perhatian. Seharian ini tidak ada yang mengingatkannya untuk makan, apalagi mengajaknya makan bersama. Membuat dia bertambah malas untuk menyentuh makanan.

Melepas jas kantornya, Kennan menanggalkannya di atas kursi. Mejanya sudah rapi, dengan tumpukan berkas yang selesai dia periksa.

Kennan baru akan keluar ruangan, ketika sebuah ketukan di pintu mengurungkannya. Terlihat Rita dengan senyum ramahnya menyembul di balik pintu.

"Ada apa?" tanya Kennan, dia duduk di pinggiran meja dengan sebelah tangan tersimpan rapi di saku celana depan.

"Ada tamu yang ingin menemui Anda, Pak," kata Rita, sembari membuka daun pintu lebih lebar.

Kennan yang tadinya mengernyit, seketika menyeringai tipis melihat seseorang yang berdiri di sisi belakang Rita. Dia segera menegakkan tubuh. "Suruh masuk," perintahnya.

Yuna meringis, melangkah masuk ke dalam ruangan yang terasa mencekam baginya. Dia melirik sesaat ke arah Kennan, sebelum mengalihkan tatapannya pada Rita yang berlalu. Meninggalkan debam pintu yang menggema gendangnya.

Kennan duduk di salah satu sofa single sembari meminta Yuna untuk duduk. "Kamu sudah memutuskan?" tanya Kennan to the point. Beberapa detik setelah Yuna menyamankan duduknya.

Yuna mengangguk. Mengangkat sedikit dagunya, dan sedikit lebih berani untuk bersitatap langsung dengan manik Kennan.

"Jadi?"

"Saya menerimanya."

Kennan tersenyum tipis. Benaknya berbangga diri. "Kalau begitu, besok kita akan menandatangani kesepakatan."

Menggigit bibir bawahnya, Yuna mencoba merangkai kata dalam pikirannya. Lamat-lamat dia menatap Kennan dengan tatapan meragu. "Tapi—"

Menaikkan sebelah alisnya, Kennan menunggu kelanjutan ucapan Yuna. "Kamu ingin menambahi?" tanya Kennan akhirnya.

"Saya ...," jeda. Yuna menarik napas pelan. Susah sekali kata yang sudah berada di ujung lidahnya terucap. "saya tidak ingin mengandung di luar pernikahan."

Membeliak. Kennan menatap lekat gadis muda di depannya. Apa yang baru didengarnya, lelucon kah?

"Sepertinya kamu belum membaca rinci kesepakatan itu. Aku tidak ingin menikah atau membangun rumah tangga." Kennan mendesahkan napas. "Tidak ada komitmen. Yang aku inginkan hanya mendapat keturunan. Jadi, karena itu aku membuat hal seperti ini."

"Bukan, bukan seperti itu. Ini hanya pernikahan yang berbatas waktu, sama seperti yang Anda inginkan. Anda bisa langsung memutuskan hubungan sesuai yang ada dalam kesepakatan." Yuna tersenyum, senyum buatan yang dia usahakan. Hatinya perih demi satu keputusan berat yang diambilnya.

Bukan main-main. Dia menggantungkan hidupnya pada suatu hal menggelikan. Karena demi satu keputusan itu pula, Yuna berani mengesampingkan harga dirinya. Tak lagi peduli jika dianggap rendahan ataupun murahan.

Kennan diam, dia tidak sampai berpikiran ke arah pernikahan. Baginya, mahligai pernikahan adalah komitmen seumur hidup yang dijalani dengan orang terkasih. Bukan di atas kesepakatan seperti ini.

"Kamu yakin?" tanya Kennan meragu. "Kita bisa saja menikah, tapi tentunya secara diam-diam. Tidak ada status yang kamu harapkan, murni hanya hitam di atas putih."

Kekasih Tuan Muda/ Baby In A Dream (Terbit) Where stories live. Discover now