Inget Ay, kehidupan nyata menunggu lo. Dan kehidupan itu gak seindah semua warna warni yang lo temukan di sebrang lautan tadi. Gak ada lightstick ocean yang berganti ganti warna mengikuti beat dari musik di tengah konser, gak ada makanan yang bakalan masih terasa enak walaupun lo makan sendirian, gak ada perasaan tanpa harap saat lo melihat gak ada siapa siapa di samping lo. Yang ada cuma rasa harap besar untuk bisa kembali ke tempat yang baru aja lo tinggalkan tadi, secepat yang lo bisa.

Dan sekali lagi, gue tertidur di kursi pesawat dengan sepercik kesadaran yang sedikit terasa menusuk.

Gak perlu gue ragukan, Fabio duduk di kursi besi depan gate kedatangan luar negeri sambil mencoret coret sketchbook dia

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

Gak perlu gue ragukan, Fabio duduk di kursi besi depan gate kedatangan luar negeri sambil mencoret coret sketchbook dia. Walaupun udah mengenakan sweater andalan dan celana jeans dia, saat kacamatanya terpasang, Fabio bakalan balik menjadi arsitek lagi. Bahkan di tengah keramaian ini.

Gue menggeret koper gue sambil menenteng bantal leher yang selalu menjadi penyelamat gue selama di pesawat, dan pada saat itulah Fabio menoleh dan memicingkan matanya ke arah gue. Mukanya yang galak banget itu bener bener membuat gue yakin kalo kursi kursi di samping dia kosong karena gak ada yang berani duduk di sebelahnya. Cewek PMS aja kalah sensi ama ekspresi dia sekarang.

"FAB!!" Teriak gue seneng sambil melambaikan tangan gue yang masih memegang bantal leher gue, saat Fabio menutup sketchbook-nya. Gue langsung berlari dan berdiri di depan Fabio yang cuma mendengus ngeliatin gue dari atas sampe bawah.
"Kebiasaan banget sih lo, nyusahin. Kalo berangkat gak pernah bilang, tau tau minta jemput tanpa rasa bersalah." Fabio ngoceh sebelum menarik bantal gue. Pasti ngerasa males bantuin gue bawa koper, tapi gak bawain apa apa juga bikin dia ngerasa gak enak. Typical Fabio Aridian.
"Kalo pulang kan bawaan gue bejibuuun! Ini isinya oleh oleh lo banyak banget loh!" Ujar gue sambil menunjuk tas tenteng besar yang ada di atas koper gue.
"Apa? Coklat? Susu? Pajangan? Rumah gue isinya udah mulai dari bendera Korea, sampe makanan khas Korea ada semua. Hongkong, Jepang, Amrik, dan entah mana lagi. Semuanya dari lo."
"Ini lo belom punya kok! Produk baru gitu! Masker. Hehe." Gue nyengir sambil terus mengikuti Fabio yang berjalan ke arah parkiran.
"Anjir lah sekarang gue disuruh maskeran." Balas Fabio masih dengan nada kesalnya, walaupun gue bisa ngeliat ujung bibirnya yang sedikit terangkat menahan tawa.
"Biar ganteng Fab. Lo kebanyakan main debu, ntar jodoh lo makin jauh!" Lanjut gue bertepatan dengan kita sampai di depan mobil Fabio, dan kali ini Fabio gak bisa menahan tawanya lagi.
"Serah lo deh ah." Jawab Fabio sambil membuka bagasi mobilnya.

Fabio Aridian, sahabat gue sejak... gak tau kapan. Pertemuan pertama kita yang sangat memalukan buat gue akhirnya membuat gue dan dia bisa sahabatan sampe sekarang.

Kejadian yang membuat gue berharap kita semua bisa hilang ingatan aja, khusus hari itu.

Flashback.

2 minggu pertama masuk SMA, dan gue udah membutuhkan asupan gizi lebih. Gue dan Ria, anak kelas sebelah yang baru gue kenal hari ini, akhirnya memutuskan untuk mampir di Pizza Hut deket sekolah karena café abal abal depan sekolah tutup. Katanya, Bapak yang punya-nya lagi diare dan si Bapak gak percaya ninggalin toko ke pegawai pegawainya doang. Alhasil karena nyokap gue baru bisa jemput gue jam 5, gue yang kelaparan ini harus menggunakan sebagian dari uang tabungan gue yang udah gue kumpulin susah payah sejak hari pertama MOS (Masa Orientasi Siswa) untuk membeli pizza.

A Second Before Midnight (On Hold)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora