Bab 25

8.7K 1.1K 133
                                    

Tak terasa votenya ternyata sudah 500 nih, jadi hari ini tak lanjutin deh

Makasih ya yang kemarin sudah pada ngasih komentar dan vote

Untuk part selanjutnya 500 vote lagi yaaa

#bolehlahngarep


"Aku tidak menyuruhmu tidur di punggungku, Riri." suara dalam dan lembut itu membuat Utari terkekeh. Dia tahu, pria itu sudah kembali menemukan keceriaannya. Tentu saja, Utari tidak mau kehilangan lagi.

Bukannya melepaskan diri, gadis itu justru semakin erat memeluk suaminya. Rasanya begitu nyaman. Seperti dia sudah pulang ke rumah. Semua kerumitan dan panas yang melanda hatinya, terasa menguar entah ke mana.

Utari menyukai aroma kopi yang berpadu dengan wangi parfum Bagus. Dia juga menyukai kehangatan dari otot liat penuh vitalitas itu. Betapa rasanya semua pas pada tempatnya.

"Mas, maafin Riri. Aku tahu, apa yang aku lakukan sudah sangat kekanakan. Tapi Mas juga harus mengerti, jika aku bukan burung di dalam sangkar. Sesekali aku membutuhkan bersosialisasi di dalam duniaku sendiri."

"Tapi kamu punya ponsel, kenapa tidak menghubungi orang rumah? Kasihan Pak Uyun, yang kalang kabut nyariin kamu."

Haish! Benar-benar bukan pria romantis! sungut Utari kesal. "Oh, jadi hanya Pak Uyun yang mencariku? Mas Bagus tidak cemas aku menghilang?"

Utari langsung melepaskan pelukannya dengan gemas. Dia memberengut kesal sambil bersidekap. Dia sudah hampir luluh, tapi sekali lagi pria itu menghempaskannya ke atas batu karang. Jika ada teropong yang dapat melihat kondisi hatinya, mungkin sekarang di dalam sana, salah satu organ vitalnya sudah berdarah-darah.

"Riri—" tangan Bagus yang sudah terulur, ditepis dengan kasar oleh Utari.

"Jangan menyentuhku! Aku tahu, meski aku tidak pulang sekalipun tidak akan ada yang mencemaskanku! Hari Minggu yang menyenangkan bukan? Terus saja saling melepas rindu dengan waranggana kesayangan Mas Bagus! Aku memang bukan siapa-siapa, dan tidak akan pernah menjadi siapa-siapa di hati Mas Bagus!"

Utari tidak dapat lagi membendung perasaannya. Seharusnya dia tidak menangis di depan pria itu. Benar-benar menunjukkan jika dirinya sangat lemah. Tapi apa daya, beban itu telah membuat dadanya sesak.

"Riri—"

"Mas Bagus memang keterlaluan! Mas Bagus jahat! Aku benci Mas!" isak Utari semakin kencang.

Tangannya berusaha menyingkirkan tubuh Bagus yang berusaha memeluknya. Namun Bagus masih bergeming di tempatnya. Tangan Utari memukul-mukul dada pria itu, hingga akhirnya dia menjatuhkan diri di dalam dekapan Bagus Pandhita.

Utari menangis sesenggukan, hingga airmatanya membasahi kemeja biru yang dipakai pria itu. Gadis itu baru menyadari, jika suaminya masih mengenakan baju yang sama dengan yang dipakai tadi siang. Jadi, bahkan Bagus belum sempat mandi.

"Kok tambah kenceng, sih. Kamu bener-bener niat ya, bikin bajuku basah. Atau kamu pengin kita tenggelam sama airmata kamu?" Bagus Pandhita mengelus-elus rambut Utari dengan lembut, yang justru semakin membuat gadis itu kian menangis kencang.

"Mas Bagus rese!" setelah tangisnya reda, Utari berusaha mengurai pelukan pria itu namun gagal.

"Gini aja, deh. Aku udah terlanjur nyaman." Utari hanya mampu menarik napas, ketika Bagus justru menyandarkan dagunya di puncak kepalanya. "Jangan melarikan diri lagi. Bikin orang jantungan aja."

Utari membersit hidungnya dengan ujung baju. Dia kembali menyandarkan kepalanya di dada Bagus Pandhita yang masih basah. Gadis itu meringis bersalah. Tapi kenyamanan yang ditawarkan oleh tubuh itu, membuatnya melupakan sedikit dosa yang sudah dia buat.

"Mas."

"Ehm?"

"Kenapa Mas nggak marahin Riri? Padahal Riri kan udah salah."

"Bukan salah, hanya nggak bener aja."

Utari mencebik sebal. "Sama aja, Mas. Tapi Riri emang nggak salah, kok. Sesekali jalan-jalan ngabisin duit suami, itu kan emang tugas istri."

Gadis itu mengaduh ketika keningnya kena sentil. "Kejam banget sih, jadi suami!"

"Kamu itu ya, kalo dibaik-baikin malah suka ngelunjak!" Bagus Pandhita melepaskan Utari dari dekapannya. Dia kemudian menggandeng tangan Utari menuju kursi kerjanya. Sebelah tangan gadis itu masih mengusap-usap keningnya dengan dramatis.

"Memangnya pergi ke mana saja tadi?" Bagus Pandhita menjatuhkan tubuhnya di atas kursi empuk bersandaran tinggi yang bisa diputar itu. Dia menarik tangan Utari, hingga gadis itu jatuh terduduk di pangkuannya.

"Mas Bagus! Malu, ah!" Utari berusaha berdiri, namun tangan pria itu menahannya dengan kuat di kedua sisi pinggangnya.

"Sama suami sendiri juga. Lagipula kita sering melakukan hal yang lebih dari sekedar duduk bersama, kan?" Bagus mengaduh kecil ketika tangan Utari mencubit pinggangnya.

Pipi Utari kian memerah, namun terlihat makin menggemaskan di mata pria itu. Utari yang masih selalu terlihat malu-malu, namun bisa membuat kejutan luar biasa. Gadis nakal itu sudah membuat pikirannya kacau. Dia sungguh masih tidak mengerti, apa sesungguhnya yang tersembunyi di balik kepala cantik itu.

"Mas, Riri ngabisin duit banyak banget. Ehm, kalo misal mau dimarahin juga nggak papa." Utari menunduk sambil memainkan kancing-kancing baju suaminya.

"Berapa banyak?"

Utari menggeleng, "Sebenarnya Riri nggak membutuhkan barang-barang itu. Cuma karena Riri merasa sedang stress akut, jadi semua diambil aja."

"Mas nggak akan mempermasalahkan hal itu, kok. Berapapun uang yang kamu habisin, itu adalah hak kamu. Tapi Mas nggak mau, kamu pergi tanpa pamit lagi. Melarikan diri nggak akan menyelesaikan masalah apapun."

Utari menatap mata kelam Bagus yang tengah memandangnya. Sekarang jantungnya kembali berdentam tidak normal, "Mayang, juga bilang gitu."

"Bikin cemas orang, kok nggak kira-kira!"

"Katanya Mas nggak cemas. Yang khawatir kan, cuma Pak Uyun!"

"Kamu memang harus diberi hukuman biar jera!" kedua tangan Bagus meraih belakang kepala Utari. Gadis itu tidak sempat menghindar, ketika bibir pria itu mulai menempel di atas bibirnya.

Bagus melabuhkan sebuah ciuman yang hangat dan menuntut, hingga membuat kedua lutut Utari gemetar. Bibir Bagus mencecap dengan lembut, seakan dia ingin merasakan rasa Utari secara perlahan. Dunia seakan berhenti berputar di sekitar mereka.

Tangan Utari mencengkeram erat lengan Bagus. Jantungnya seperti akan meledak mendapati kelembutan suaminya. Ciuman itu begitu berbeda dari yang sebelumnya. Ciuman itu begitu menuntut, seperti dipenuhi dengan berjuta kerinduan dan keputus asaan.

Utari merasa dirinya seperti melayang di atas pelangi. Begitu banyak kebahagiaan di sana, dan begitu banyak harapan yang terbang bersamanya. Sekarang dia menyadari, jika hatinya bahkan mendambakan yang lebih dari sekedar sentuhan bibir mereka.

"Berjanjilah kepadaku, untuk jangan menghilang lagi. Aku seperti sudah tidak bisa bernapas, memikirkanmu sendirian di luar sana." Bagus Pandhita menempelkan kening mereka, begitu melepaskan bibirnya.

"Aku tidak akan melakukannya lagi, asal Mas lebih perhatian lagi kepadaku!"

"Apa ini masih mengenai Windri?"

"Memangnya ada makhluk lain yang lebih mengasyikkan untuk menemani ngobrol di hari Minggu?"

"Apa kamu akhirnya mengakui, jika sekarang kamu sedang cemburu?"

"Kalo iya, emang kenapa?"

Bagus hanya tersenyum penuh arti, sebelum melabuhkan ciumannya kembali. Kali ini lebih lembut, menuntut, dan tak ditahan-tahan lagi.

     


Udah sweet belum? Moga gak ada yang langsung diabetes deh hehee

Ditunggu votenya, dan ditunggu koment2 manisnya juga


Dear,


Maya

Rahasia Cinta ( SUDAH  TERBIT )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang